Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Politik Bersih

Dukung Koruptor Nyaleg, Bawaslu Dikritik

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Memasuki tahun politik ini seharusnya siapapun yang terlibat di dalamnya menjalankannya secara antusias. Namun justru ketegangan yang terjadi, dimana penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bersikukuh dengan sikapnya terkait eks napi koruptor dilarang nyaleg. Hal ini bermula pasca Panwaslu dan Bawaslu di tiga daerah yakni Aceh, Tana Toraja Utara dan Sulawesi Utara dan mengembalikan status tiga caleg yang telah dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU daerah (KPUD) setempat.

Kemudian atas putusan Panwaslu dan Bawaslu tersebut, KPU sudah bersurat kepada Bawaslu untuk melakukan koreksi terhadap putusan Panwaslu Aceh, Panwaslu Tana Toraja dan Bawaslu Sulawesi Utara karena, berdasarkan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Bawaslu berhak melakukan koreksi terhadap putusan Panwaslu atau Bawaslu di bawahnya jika putusannya tidak tepat.

Namun Bawaslu mengirim surat serupa yang intinya meminta KPU melaksanakan putusan Panwaslu di tiga daerah tersebut. Peneliti Eksposit Strategic Arif Susanto menilai, sikap Bawaslu yang tidak menjalankan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 huruf h, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota yang mengatakan, 'Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi' sebagai sebuah langkah mundur yang dilakukan Bawaslu.

Arif Susanto merasa dari awal pembentukan PKPU tersebut sudah ada ambiguitas baik dari Bawaslu, DPR dan Pemerintah yang sebenarnya mereka sepakat untuk eks napi koruptor dilarang nyaleg tetapi menjadi aneh ketika mereka meminta aturan tersebut tidak dicantumkan dalam PKPU pencalonan.

"Bagi saya ini adalah langkah mundur. Dulu sebelum PKPU pencalonan di tetapkan, kita pernah diskusi terkait ini tapi kok setelah ditetapkan PKPU pencalonan dipertanyakan lagi," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Bawaslu, Macam Mandor di Zaman Belanda' di Dhotel, Jakarta Pusat, Minggu (2/9). Arif berulang kali menegaskan, jika aturan pelarangan eks napi koruptor sebagai caleg sama sekali tidak berlawanan dengan UU manapun terutama UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Setidaknya ungkap Arif ada dua hal mengapa aturan itu tidak melanggar, yakni tafsiran KPU itu bersikap progressif, dan proporsional. Hal senada disampaikan Jeirry Sumampow, Kornas TePI Indonesia yang mengatakan, Bawaslu makin kesini semakin aneh, dan jauh dari apa yang kita harapkan.

Hal itu diperparah lagi pada saat Bawaslu tidak meneruskan dugaan politik uang atau mahar politik Sandiaga Uno sebagaimana cuitan Wasekjend Demokrat Andi Arief di media sosial Twitter beberapa waktu lalu. Jeirry mempertanyakan apakah sosialisasi sebenarnya sosialisasi politik sara dan politik uang itu benar dilakukan Bawaslu atau tidak. Janganjangan, kata Jeirry, sosialisasi itu hanya programatik belaka. rag/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top