Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dua Kementerian Ini Berpotensi Tumpulkan Nawacita

Foto : dok. pribadi
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Poin Nawacita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat pangan, juga berkembangnya ekonomi kerakyatan dalam era pemerintahan Joko Widodo tampaknya semakin sulit tercapai. Apa yang dilakukan Menteri Pertanian Amran Soelaiman dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dinilai pengamat dan kalangan Dewan, tak mendukung program kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kapasitas sektor pertanian terlihat semakin turun dan menjauhi cita-cita swasembada pangan berbagai komoditas yang digaungkan oleh Menteri Amran. Di sisi lain, holdingisasi dan ekspansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tengah digencarkan Kementerian BUMN, bisa berdampak negatif terhadap para pelaku industri secara umum, khususnya swasta dan pembangunan ekonomi kerakyatan.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus melihat, salah satu ketidakoptimalan sektor pertanian dala meraih kedaulatan dan kemandirian ini dapat terlihat dari perdagangan internasional Indonesia yang 'berdarah-darah'. Di mana tampak ada dominasi struktur impor barang konsumsi yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
"Dominasi struktur impor barang konsumsi semakin besar. Sekarang 9%. Ini indikasi bahwa pertumbuhan industri lain mengambil keuntungan dari market negara kita," ucapnya kepasda wartawan, Kamis (2/8).
Terkait hal ini, ia mengingatkan, penting bagi Joko Widodo untuk memperbaiki sisi kelembagaannya di sektor ekonomi jika mau memimpin lagi di periode ke depan.Ia melihat, sejauh ini banyak ketidaksolidan antarkementerian. Khususnya terkait data yang tidak seragam dengan kebutuhan yang ada. Salah satunya, ia menilai, Kementerian Pertanian kerap mengeluarkan data yang berbeda dengan Badan Pusat Statistik. Yang pada akhirnya, data yang berbeda ini membuat tataniaga berbagai bermasalah karena dimanfaatkan oleh segelintir pihak.
"Kementerian Pertanian selalu mengklaim produksinya cukup dan cukup untuk beberapa komoditas. Sementara di pasar harganya mahal. Ini kan sangat anomali," imbuh akademisi IPB ini lagi.
Yang juga perlu dperhatikan adalah terkait sektor industri. Pasalnya, sektor ini sangat berperan terhadap produk domestik bruto (PDB). Sayangnya, pertumbuhannya sekarang sangat melambat. Kementerian BUMN dinilainya, kurang mendukung tercapainya hal ini.
"Sangat sulit di atas 5%. Ini harus kembali lagi kita mesti melakukan reindustrialisasi. Kembangkan industri yang kita potensinya. Pertama industri agro, industri mining," tutur Heri.
Pertanyakan Validitas Data
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi juga mengomentari kebijakan pangan ini, Dia menyebut, tugas-tugas yang diberikan kepada kementerian dalam hal pangan seolah menunjukkan Presiden tidak memahami persoalan pangan. Kesan ini timbul lantaran tidak adanya data mengenai pertanian. Dia melanjutkan, jika hanya mengandalkan proyeksi sendiri tanpa menggunakan data pembanding, bisa seolah-olah terlihat bahwa stok pangan mencukupi. Akhirnya dibuat kebijakan-kebijakan hanya berdasarkan asumsi-asumsi saja.
"Karena pertanian tidak punya data. Jangankan data beras, data sawah aja mana yang sudah habis. Sawah kita berapa hektare sih. Mana yang sudah jadi rumah, pasti nggak tahu," ucap Uchok, Rabu (1/8).
Kalangan Dewan punya persepsi serupa. Data valid terhadap produksi pertanian disangsikan, Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasludin mengambil contoh stok telur dan daging ayam, yang kini berkembang. "Kita harus minta data dari Kementerian Pertanian apakah memang jumlah telur sama ayam itu cukup atau kurang," ujar Andi kepada wartawan.
Kalau jumlahnya cukup dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang ada di masyarakat, ujar dia, berarti ada permainan di tingkat distributor. Yang lebih penting lagi, Kementan dan Kemendag serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus bersinergi untuk menangani masalah naiknya harga telur dan daging ayam. Sebab, jika tidak ditangani rakyat yang mengalami kerugian.
Sementara itu menurut ekonom industri dari Universitas Indonesia, Andi Fahmi mengkritisi, holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tengah digencarkan Kementerian BUMN bisa berdampak negatif terhadap para pelaku industri secara umum, khususnya swasta. Diakui, dengan holdingisasi, BUMN akan menjadi besar dengan permodalan yang semakin kuat. Di sisi lain, kontrol pemerintah terkait penetrasi holding BUMN ini di pasar industi tampak buyar dan lemah sehingga bisa terjadi monopoli yang dilakukan holding tersebut.
"Yang kita takutkan pemerintah dengan holding BUMN ini kontrolnya berkurang karena holding BUMN seolah menjadi entitas bisnis murni," ucapnya, Rabu (1/8).
Dengan status tersebut, arah holding BUMN dianggap mengharuskan BUMN mencari untung besar-besaran. Di sisi lain, ia pun menyayangkan Kementerian BUMN yang belum mengatur aturan teknis mengenai holding BUMN.
Anggota Komisi VII DPR, Bambang Riyanto juga mengkritisi hal sama. Ia menilai sikap pemerintah yang diduga "menggadaikan" Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina, Garuda, PLN, PGN dan BUMN lainnya sangat bertentangan dengan Nawacita.
Sikap Menteri Rini Soemarno, kata dia, terkesan merugikan pemerintah dan negara. Khusus untuk Pertamina, Bambang merasa curiga kenapa "digadaikan", padahal, selama ini mendapatkan keuntungan. Belum selesai kasus Pertamina, muncul masalah Garuda yang juga menjadi polemik. Bambang yakin betul jika Garuda selama ini mengalami keuntungan jika tidak direcoki pengelolaannya. "Garuda lucu-lucunya mau dijual juga."
Dulu, masih kata dia, pemerintah janji akan buy back Indosat ke pangkuan rakyat Indonesia. Melihat saat ini, bukan malah buy back, justru menjual semua BUMN.
Supaya negara tidak bangkrut, Bambang mengusulkan kepada pemerintah untuk fokus membenahi benang kusut pengelolaan BUMN. "Harus betul-betul ada pembenahan yang serius dari pemerintah," anjur dia. mza

Komentar

Komentar
()

Top