Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Pembangunan PLTU Batu Bara Melawan Tren Dunia

Dorong Investasi, Kualitas Kebijakan EBT Mesti Ditingkatkan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan untuk menarik minat pemodal, pemerintah harus meningkatkan kualitas kebijakan dan kerangka regulasi yang mendukung investasi di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).

Paling tidak ada tiga hal penting yang mesti segera dilakukan pemerintah, yakni memperbaiki tarif pembelian listrik dari EBT hingga di atas biaya produksi, tidak membatasi persentase pengembangan EBT agar bisa mengejar ketertinggalan, serta tidak membatasi pengembangan energi bersih. Apabila hal tersebut dilakukan maka diperlukan masa transisi 2-3 tahun ke depan, sehingga pada 2021 pengembangan sektor EBT di Tanah Air menjadi masif.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andy Fetta Wijaya, mengatakan jika pemerintah serius ingin mengejar ketertinggalan target EBT sebesar 23 persen pada 2025, maka tidak ada jalan lain, negara harus melakukan perannya lewat instrumen kebijakan yang dapat mendorong ke arah pencapaian target itu.

"Apabila masih jauh dari capaian target kinerja EBT maka salah satu upaya menggenjot pencapaian target tersebut dengan mengubah segala kebijakan selama ini yang masih kurang mendukung, termasuk kebijakan yang bersifat memberikan beberapa kelonggaran, sebagai investasi pemerintah dalam program tersebut," ujar dia, ketika dihubungi, Rabu (19/12).

Sebelumnya dikabarkan, regulasi pemerintah dinilai tidak mendukung target pengembangan EBT dalam bauran energi Indonesia, terutama dalam penetapan harga pokok pembelian listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pemerintah dianggap menetapkan harga yang tidak adil karena harga beli listrik dari EBT jauh di bawah harga dari sumber energi kotor, seperti batu bara. Ini tentunya menghambat pengembangan EBT sehingga target bauran energi sulit tercapai.

Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu, merilis laporan yang memperkirakan pada 2019, prospek perkembangan EBT belum menggembirakan.

Kondisi ini setidaknya akan berlanjut hingga semester I-2019. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengemukakan laporan ini memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa pengelolaan dan pelaksanaan program pembangunan pembangkit listrik EBT tidak berada dalam jalan yang benar.

"Situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta," kata Faby. Dalam laporannya, IESR menyebutkan sepanjang 2018, tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan.

Salah satunya terlihat dari mandeknya pembangunan kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik EBT dalam tiga tahun terakhir. "Ini berarti dibutuhkan upaya perbaikan yang menyeluruh terhadap peraturan khususnya untuk menghilangkan hambatan investasi dan meningkatkan kepercayaan investor," kata Kepala Divisi Riset IESR, Pamela Simamora.

Lebih Murah

Kepala Kajian Ketenagalistrikan dan Pembangkitan Listrik di Carbon Tracker, Matt Gray, belum lama ini mengungkapkan pada 2021 akan lebih murah bagi Indonesia untuk membangun pembangkit tenaga listrik surya (PLTS) baru dibandingkan melanjutkan pembangkit listrik batu bara yang sudah ada.

"Modelling kami menunjukkan, di 2021, Indonesia akan sampai di titik di mana investasi per megawatt akan lebih murah untuk PLTS dibandingkan PLTU batu bara. Biaya operasionalnya akan lebih mahal," ujar dia.

Dia menambahkan rencana pengembangan PLTU batu bara yang agresif di tiga negara ASEAN, yakni Indonesia, Vietnam, dan Filipina tidak sejalan dengan tren dunia dan dapat berujung pada stranded asset (aset terpinggirkan) yang bisa mencapai 60 miliar dollar AS.

Khusus untuk Indonesia, lanjut dia, kajiannya menunjukkan ada kemungkinan terjadi penurunan nilai aset dan kerugian aset PLTU batu bara yang dapat mencapai 34,7 miliar dollar AS. Tapi, menurut Matt, yang jelas PLN akan menanggung beban yang paling besar dan jumlahnya dapat mencapai 15 milar dollar AS.

ers/SB/ahm/WP

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top