Selasa, 19 Nov 2024, 09:45 WIB

Desy Ratnasari Pertanyakan Alasan Penolakan Revisi UU Penyiaran

Anggota Komisi I DPR RI Desy Ratnasari.

Foto: dpr.goid

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Desy Ratnasari mempertanyakan latar belakang penolakan Dewan Pers dan komunitas pers terhadap Revisi UU Penyiaran, RUU yang digadang akan menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002.

“Menurut saya kalau memang sebuah penolakan dalam bentuk ketidaknyamanan terhadap substansi, pasal berapa itu bisa dibicarakan dan bisa dikompromikan. Menurut saya itu tidak serta-merta menolak tanpa urutan penolakan atau keterangannya atau penjelasannya atau argumentasinya. Saya rasa ini juga untuk kebaikan bersama,” ujar Desy di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I dengan Dewan Pers, Komisi Informasi Publik (KIP), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang digelar Senin (18/11), Desy menyoroti ketidakberdayaan KPI dalam mengawasi platform digital. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait penggunaan platform digital di kalangan anak-anak. 

Ia tak menampik banyak orang tua yang memberikan anak akses ke perangkat digital termasuk platform hiburan. Ia lantas memberikan perhatian pada iklan pop-up yang sering muncul saat anak-anak menonton, yang tidak selalu sesuai dengan usia anak-anak. Beberapa iklan tersebut bahkan mengarahkan pada konten berlangganan seperti sinetron atau drama yang mengandung unsur-unsur yang tak sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di Indonesia.

Desy menilai salah satu upaya untuk meminimalkan dampak buruk dari terpaan informasi dan stimulus yang didapatkan dari berbagai platform digital adalah dengan memberikan penguatan kepada KPI melalui Revisi UU Penyiaran.

Revisi ini diperlukan untuk melindungi anak-anak dan generasi muda dari konten yang tidak sesuai usia, yang bisa mengikis budaya dan nilai-nilai nasionalisme. Selain itu, Desy mengungkapkan bahwa KPI saat ini belum memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan pengawasan efektif, sehingga revisi UU Penyiaran menjadi langkah krusial untuk memperkuat peran dan kewenangan lembaga tersebut.

“Sebenarnya perlindungan adab, akhlak, nasionalisme itu intinya (revisi UU Penyiaran). Nah sementara KPI sendiri tidak punya wewenang untuk melakukan hal itu, untuk melakukan pengawasan, untuk memberikan peringatan dan sebagainya. Salah satu cara pintu masuk untuk memberikan penguatan kewenangan dan kelembagaan KPI ini adalah melalui Revisi UU Penyiaran tadi,” lanjutnya. 

Politisi Fraksi PAN ini menyatakan bahwa KPI, KIP, dan Dewan Pers seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan yang bekerja bersama dalam memberikan informasi yang akuntabel dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

Ia menambahkan bahwa informasi yang diawasi oleh lembaga-lembaga tersebut juga memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak bangsa. Untuk mencapai hal ini ia menekankan perlunya kerjasama yang baik antar lembaga tersebut. 

Dilansir dari berbagai sumber, penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran muncul karena draf RUU tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers dan mereduksi independensi media. Salah satu pasal yang dianggap kontroversial terkait dengan penayangan jurnalisme investigasi.

Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019-2024 dan diajukan kembali oleh DPR untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. 

Redaktur: Lili Lestari

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: