Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Daya Saing - Banyak Aturan Daerah Tumpang Tindih dengan Kebijakan Pusat

Demi Pacu Investasi, Reformasi Birokrasi Mesti Komprehensif

Foto : Sumber: BKPM – Litbang KJ/and - kj/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>> Manajemen peraturan Indonesia dinilai buruk, kalah dibandingkan negara tetangga.

>> Perizinan ruwet, banyak investor asing mengurungkan rencana penanaman modal.

JAKARTA - Pemerintah mesti menjalankan reformasi birokrasi secara komprehensif atau menyeluruh demi meningkatkan daya saing dan memacu laju investasi. Selama ini, pemerintah memang telah berupaya menjalankan reformasi birokrasi, namun hasilnya dalam investasi dan daya saing belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, masih banyak hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan reformasi birokrasi, dan itu harus dilakukan lebih menyeluruh.

"Beberapa hal sudah on the right track, tapi masih perlu ditingkatkan. Banyak aspek, aturan, human resources (sumber daya manusia/SDM), dan sistem. Itu yang harus disentuh secara lebih komprehensif," ungkap pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya Malang, Fadillah Amin, ketika dihubungi, Rabu (24/4).

Idealnya, menurut dia, pembenahan berangkat dari aturan yang harus diperbaiki sedemikian rupa. Sebab, Regulatory Quality Index (RQI) Indonesia masih di peringkat 109 dari 193 negara, karena aturan dianggap terlalu gemuk, terlalu banyak, dan masih banyak tumpang tindih.

Berdasarkan data Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, paling tidak ada sekitar 62 ribu regulasi di Indonesia. Dalam waktu 15 tahun (periode 2000-2015), regulasi yang tercipta baik tingkat pusat maupun daerah mencapai 12.500. Jumlah itu tergolong fantastis untuk negara yang berusia belum genap 100 tahun.

Melihat banyaknya aturan tersebut, Bank Dunia pada 2016 menempatkan RQI Indonesia di posisi 109. Peringkat Indonesia itu lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain, seperti Malaysia (peringkat 18), Vietnam (peringkat 90), dan Singapura (peringkat 1). Posisi Indonesia tersebut mencerminkan buruknya manajemen peraturan di Indonesia.

Fadillah menilai RQI ini perlu ditingkatkan karena menjadi salah satu parameter yang mendukung Government Competitive Index (GCI). Untuk parameter ease of doing bussines memang naiknya lumayan bagus, tapi sempat turun. Hal inilah yang ingin digenjot Presiden Jokowi.

"Memang, reformasi birokrasi kurang lebih sudah menyentuh beberapa aspek, seperti deregulasi untuk penyederhanaan sistem yang memudahkan memulai usaha diberlakukan, mal layanan publik, dan lain-lain. Tapi masih banyak halangan lain," papar dia.

Sebelumnya, Presiden Jokowi untuk kesekian kalinya mengeluhkan masalah perizinan yang tumpang tindih, sehingga membuat investor yang semula ingin menanamkan modal di Indonesia, menarik diri.

"Sebelum masuk, mereka sangat antusias, tapi begitu masuk, kita tahu semuanya betapa masih ruwetnya mengurus perizinan di negara kita. Ruwet artinya lama. Ruwet artinya biaya yang harus dibayar lebih mahal," ungkap Presiden, Selasa (23/4).

"Ini problem yang selalu saya dengar dari investor-investor yang ingin masuk ke Indonesia. Artinya, eksekusi kita ini lamban," imbuh Jokowi.

Dia menambahkan dari peringkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) Indonesia sebenarnya mengalami lompatan, dari angka 120 kini menjadi 73. Tetapi faktanya, banyak minat investasi baik dari BUMN negara lain atau investor swasta yang ingin masuk ke Indonesia akhirnya tidak terealisasi.

Tidak Harmonis

Sejumlah kalangan menambahkan persoalan birokrasi lain adalah banyak aturan di daerah yang justru kontraproduktif dengan kebijakan di pusat. Tentunya hal itu menjadi hambatan besar dalam menggenjot investasi di daerah.

Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, menegaskan hingga kini masih banyak peraturan di daerah yang tidak harmonis dengan kebijakan pemerintah pusat. Padahal, Presiden telah lama menggaungkan reformasi birokrasi di setiap level pemerintahan.

"Di daerah masih banyak peraturan yang tumpang tindih. Kondisi ini diperparah dengan tidak harmonisnya aturan di daerah dengan aturan pusat. Masih banyak yang belum sinergis di lintas sektor," ungkap Heri.

Menurut dia, perlu ada kepastian berusaha dalam jangka panjang. Daerah harus bisa memberikan jaminan keberlanjutan usaha bagi investor. Itu merupakan bagian dari upaya menciptakan iklim usaha yang sehat bagi pelaku usaha, sebab di mana-mana investor menginginkan iklim usaha yang kondusif.

Investor juga harus diberikan kemudahan dalam mendapatkan lahan. Tidak boleh dipersulit. "Itu juga harus dibantu dengan dukungan infrastruktur serta kesiapan sumber daya manusia di daerah," kata Heri.

Sebagai upaya memutus mata rantai aturan yang tumpang tindih, dalam dua tahun terakhir, Kementerian Dalam Negeri telah menghapus 1.876 Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.SB/ers/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top