Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proses produksi industri berat seperti semen dan baja sangat banyak menghasilkan karbon dioksida. Dengan teknologi dekarbonisasi instan dapat mengubah karbon dioksida menjadi karbon padat yang bisa digunakan kembali.

Dekarbonisasi Gas CO2 Menjadi Karbon Padat

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Perubahan iklim yang terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Salah satu upaya yang untuk menekan dampak dari konsetrasi karbon dan gas di atmosfer adalah dengan melakukan dekarbonisasi secara luas pada bermacam industri.
Dekarbonisasi sebagai proses menghilangkan atau mengurangi semua emisi karbon buatan manusia. Tujuan untuk menghilangkannya dan mencapai nol emisi, meski tantangannya begitu sulit.
Peneliti di Institut Teknologi Royal Melbourne (RMIT) University di Melbourne, Australia, berhasil mengembangkan cara cerdas dan efisien dalam dekarbonisasi. Metode yang dilakukan berupa penangkapan karbon dioksida berupa gas cair tidak berwarna, tidak berbau, tidak mudah terbakar dan sedikit asam dengan mengubahnya menjadi karbon padat.
Teknologi tersebut diklaim dapat membantu memajukan dekarbonisasi industri berat seperti semen dan baja. Selain itu karbon yang ditangkap lalu dipadatkan dapat dimanfaatkan kembali menjadi bahan bakar sehingga berkelanjutan.
Menurut Badan Energi Internasional, industri baja dan semen masing-masing bertanggung jawab atas sekitar 7 persen dari total emisi CO2 global. Emisi karbon dari kedua sektor tersebut diperkirakan akan terus tumbuh selama beberapa dekade mendatang karena permintaan didorong oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi.
Selama ini isu dekarbonisasi pada industri berat merupakan tantangan teknis yang sangat besar terutama pada industri semen dan baja. Keduanya tidak hanya boros energi, tetapi juga secara langsung mengeluarkan CO2 sebagai bagian dari proses produksi.
Wakil peneliti RMIT Profesor Torben Daeneke dalam publikasikan di jurnal Energy & Environmental Science, mengatakan teknologi baru ini menawarkan jalur untuk secara instan mengubah karbon dioksida saat diproduksi dan menguncinya secara permanen dalam keadaan padat, menjaga CO2 keluar dari atmosfer
Daeneke mengatakan pekerjaan dibangun di atas pendekatan eksperimental sebelumnya yang menggunakan logam cair sebagai katalis. "Metode baru kami masih memanfaatkan kekuatan logam cair, tetapi desainnya telah dimodifikasi untuk integrasi yang lebih mulus ke dalam proses industri standar," ujar Daeneke dalam laporannya pada jurnal Energy & Environmental Science.
Selain lebih sederhana untuk ditingkatkan, teknologi baru ini secara radikal lebih efisien dan dapat memecah CO2 menjadi karbon dalam sekejap. Ia berharap ini bisa menjadi alat baru yang signifikan dalam mendorong dekarbonisasi, untuk membantu industri dan pemerintah memenuhi komitmen iklim mereka dan membawa secara radikal mendekati nol bersih.
Permohonan paten sementara telah diajukan untuk teknologi tersebut dan para peneliti baru-baru ini menandatangani perjanjian senilai 2,6 juta dollar Australia atau sekitar 26,7 miliar rupiah dengan perusahaan teknologi lingkungan Australia ABR, yang mengomersialkan teknologi untuk mendekarbonisasi industri manufaktur semen dan baja.
Co-lead peneliti Dr Ken Chiang mengungkapkan, tim juga ingin mendengar dari perusahaan pada sektor lain untuk memahami tantangan yang dihadapi. Hal ini terutama pada industri yang sulit untuk dekarbonisasi dan mengidentifikasi aplikasi potensial lainnya dari teknologi.
"Untuk mempercepat revolusi industri berkelanjutan dan ekonomi nol karbon, kita membutuhkan solusi teknis yang cerdas dan kolaborasi penelitian-industri yang efektif," kata Chiang kepada Science Daily.
Teknologi untuk penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) sebagian besar berfokus pada mengompresi gas menjadi cairan dan menyuntikkannya ke bawah tanah. Cara ini sulit dan masih memiliki dampak bagi lingkungan. Selain itu, CCS banyak menuai kritik karena terlalu mahal dan boros energi untuk digunakan secara luas. hay


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top