Wanning Sun, University of Technology Sydney dan Marina Yue Zhang, University of Technology Sydney
Peluncuran model kecerdasan buatan (AI) terbaru DeepSeek-R1 pada 20 Januari 2025 lalu telah mengejutkan dunia teknologi.
Tanpa banyak gembar-gembor, model AI asal Tiongkok ini berhasil dikembangkan dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan GPT-4o milik OpenAI, serta dalam waktu yang jauh lebih singkat
Seorang komentator Cina bahkan menyebut peluncuran DeepSeek ini sebagai “serangan Pearl Harbor” di dunia AI.
Meskipun penggunaan kata “serangan” mungkin terdengar berlebihan, istilah ini cukup untuk menggambarkan naiknya tensi persaingan antara Amerika Serikat dan Cina dalam perebutan dominasi di bidang AI yang selama ini didominasi oleh AS.
Pekan lalu, masyarakat Cina merayakan pencapaian saat DeepSeek meroket ke puncak App Store milik Apple dan Google di AS.
Lantas, apa arti kemunculan DeepSeek bagi persaingan AS-Tiongkok di sektor AI?
Catatan kritis atas kontrol pemerintah Cina
Pertama, keberhasilan DeepSeek memberikan pesan kuat bagi pemerintah Cina bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat inovasi.
Hingga pertengahan 2023, perkembangan teknologi di Cina sempat tersendat oleh peraturan yang semakin ketat. Pemerintah Cina menindak keras perusahaan-perusahaan teknologi seperti Alibaba dan yang sejenis lainnya untuk mencegah penyebaran kapitalisme wirausaha yang merajalela di Cina.
Peluncuran ChatGPT pada 2023 membuka babak baru dalam pengembangan AI di Barat. Namun, bagi perusahaan teknologi di Cina, hal ini merupakan kejutan besar. Pemerintah Cina pun buru-buru mengubah pendekatan mereka dengan meyakinkan industri bahwa mereka mengakui peran penting ekonomi digital sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan melonggarkan regulasi di sektor ini.
Namun, pertanyaan besar yang masih mengganjal adalah bagaimana DeepSeek—dan perusahaan AI Cina secara umum akan menghadapi sensor.
Sejauh ini, kata-kata atau pertanyaan yang bersifat sensitif secara politik tampaknya menjadi wilayah terlarang bagi DeepSeek.
Ketika ditanya tentang apa yang terjadi pada 4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen—lokasi tragedi berdarah terhadap demonstran pro-demokrasi—chatbot ini hanya memberikan jawaban seperti, “Maaf, itu di luar cakupan saya saat ini. Mari kita bicarakan hal lain.”
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan: Bisakah alat AI buatan Cina benar-benar bersaing di kancah global jika masih menghadapi tantangan sensor?
Upaya AS menahan perkembangan teknologi Cina US
Amerika Serikat telah menerapkan berbagai langkah untuk membatasi perkembangan AI di Cina dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintahan Biden berupaya membatasi akses Cina terhadap chip canggih yang dibutuhkan untuk pengembangan AI serta melarang ekspor peralatan pembuat chip dan teknologi terkait ke Cina.
AS juga telah memasukkan banyak entitas Cina ke dalam daftar hitam perdagangan karena dinilai memiliki teknologi yang dapat digunakan, baik untuk kepentingan militer maupun komersial.
Munculnya DeepSeek menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas langkah-langkah AS dalam “mengurangi risiko” dari Cina, terutama dalam hal kerja sama ilmiah dan akademik.
DeepSeek, misalnya, berhasil menghindari pembatasan AS terhadap chip canggih dengan menimbun chip kualitas rendah dari Nvidia sebelum pemerintahan Biden melarangnya.
Para pengamat Barat sering menggambarkan inisiatif AI Cina terbatas akibat kendali AS. Namun, mereka cenderung mengabaikan munculnya generasi baru wirausahawan Cina yang lebih mengutamakan penelitian dasar dan kemajuan teknologi jangka panjang dibandingkan keuntungan cepat.
DeepSeek adalah contoh sukses dari pendekatan ini. Dengan menerapkan metode open-source, perusahaan ini mengandalkan keahlian kolektif dan mendorong inovasi kolaboratif. Strategi ini tidak hanya mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga mempercepat pengembangan teknologi mutakhir.
Cina: Pengikut atau inovator?
Salah satu asumsi umum di Barat adalah bahwa perusahaan Cina hanya mengikuti atau meniru inovasi yang sudah ada. Namun, pencapaian DeepSeek telah menampik anggapan ini. Seperti yang dikatakan CEO DeepSeek, Liang Wenfeng, dalam sebuah wawancara dengan media Cina:
Inovasi seperti ini terjadi sepanjang waktu di AS. Orang Amerika terkejut dengan kami terutama karena kami adalah perusahaan Cina yang memasuki permainan ini sebagai inovator dengan kontribusi orisinil, bukan sekadar pengikut.
Keberhasilan DeepSeek juga mempertanyakan kebijakan AS yang melarang mahasiswa pascasarjana Cina berkuliah di universitas Amerika.
Baik pemerintahan Biden maupun Trump mendukung kebijakan ini dengan asumsi akan terjadi hal yang disebut oleh para peneliti sebagai “STEM talent de-coupling”. Bahwa mahasiswa dicurigai bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Cina untuk mentransfer ilmu dan teknologi ketika mereka kembali ke negara asalnya.
Tapi Liang Wenfeng, tidak pernah menempuh pendidikan di luar Cina. Ia merekrut lulusan dan mahasiswa dari universitas-universitas terkemuka di Cina untuk membangun tim risetnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang menempuh pendidikan di luar negeri.
Para pengembang ini merupakan bagian dari generasi muda Cina yang tidak hanya memiliki ambisi pribadi tetapi juga cita-cita untuk memajukan posisi Cina sebagai pemimpin inovasi global.
Di berbagi negara, reaksi awal terhadap chatbot AI DeepSeek adalah kehati-hatian, bahkan kekhawatiran masalah keamanan data. Namun, kehadiran DeepSeek juga bisa menjadi pengingat bahwa kolaborasi ilmiah seharusnya lebih berfokus pada keunggulan penelitian dibandingkan pertimbangan geopolitik. Selain itu, kesuksesan DeepSeek bisa menjadi pelajaran akan perlunya berinvestasi dalam infrastruktur riset AI negara sendiri serta membangun talenta lokal di bidang ini agar tetap kompetitif dan tidak terlalu bergantung pada penyedia teknologi luar.
Wanning Sun, Professor of Media and Cultural Studies, University of Technology Sydney dan Marina Yue Zhang, Associate Professor, Technology and Innovation, University of Technology Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.