Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dedikasi Seorang Dokter Bedah Saraf

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : When Brath Becomes Air

Penulis : Paul Kalanithi

Penerbit : PT Bentang Pustaka

Cetakan : Maret 2017

Tebal : xxiv+224 halaman

ISBN : 978-602-291-446-0

Buku When Breath Becomes Air merupakan sebuah memoar Paul Kalanithi yang ditulis saat menghadapi diagnosis kanker mematikan. Paul seorang dokter ahli bedah saraf lulusan Universitas Stanford yang dibesarkan di Kingman, Arizona.

Pada usia 36, Paul merasa suratan hidupnya begitu sempurna. Ia hampir saja menyelesaikan masa pelatihan luar biasa panjang selama 10 tahun sebagai ahli bedah saraf. Beberapa rumah sakit dan universitas ternama telah menawari posisi penting. Penghargaan nasional pun diraih. Bahkan, Paul hendak menata ikatan pernikahannya yang sempat merenggang.

Akan tetapi, tiba-tiba dia didiagnosis kanker paru-paru ganas. Semua kebahagiaan dan rencana masa depan seperti menguap. Bayangkan, dia biasa menangani penderita, kini menjadi pasien. "Mengapa aku begitu berwibawa ketika mengenakan jubah dokter bedah, tetapi begitu penurut ketika berbaju pasien?" katanya (halaman 4).

Buku ini akan membawa pemahaman mengenai hidup dan seberapa layak diberi pilihan hidup. Apa yang membuat hidup layak untuk dijalani? Dalam keadaan sekarat. Paul telah mengajari banyak orang untuk menghargai kehidupan. Kehebatannya dicontohkan ibunya yang begitu perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Ibunya tahu betul bahwa Kingman, tempat mereka tinggal merupakan distrik paling tidak berpendidikan di Amerika.

Tingkat putus sekolah di SMA lebih dari 30 persen. Hanya segelintir pelajar meneruskan ke bangku kuliah. Maka, ibunya membiasakan Paul dan saudara-saudaranya banyak membaca buku. "Buku menjadi sahabat terdekatku. Lensa sangat peka yang memberikan pandangan-pandangan baru mengenai dunia," ujar Paul (halaman 27). Paul selalu memikirkan yang bermakna, "Alih-alih kesuksesan, aku lebih terdorong upaya memahami dengan sungguh-sungguh, apa yang membuat kehidupan manusia bermakna?" (halaman 30).

Buku ini menceritakan pengalaman sewaktu menempuh sekolah kedokteran seperti pertama membedah. Pisau bedahnya begitu tajam sehingga alihalih mengiris, bahkan merasa seakanakan sedang membuka ritsleting kulit untuk kemudian memperlihatkan otototot tersembunyi. Semasa menjadi dokter bedah Paul selalu mendukung pasien-pasiennya. Ketika pisau bedah tidak lagi bisa digunakan, kata-kata menjadi pengganti dokter bedah.

Paul harus menghadapi kanker yang menyerang paru-parunya. Sakit parah tidak hanya mengubah kehidupan, tetapi menghancurkan kehidupan. Setelah menghabiskan sebagian besar waktu di ranjang dengan kanker yang semakin berkembang, Paul merasa menjadi jauh lebih lemah.

Kondisi tersebut membuatnya memutuskan kembali menjadi dokter bedah saraf untuk menolong banyak orang. Dalam keadaan sakit dan berobat, Paul tetap giat bekerja karena merasa kembali hidup. Sering kali dia harus meminum obat pengurang rasa nyeri setelah bekerja. "Aku berjuang sambil menghadapi kematianku sendiri untuk membangun kembali kehidupan lamaku atau mungkin mencari kehidupan baru," seru Paul (halaman 136). Pada suatu titik, Paul menyimpulkan, tugas dokter bukanlah menghindarkan kematian atau mengembalikkan pasien pada kehidupan lama mereka, melainkan merengkuh pasien dan keluarganya yang hancur hidup. Kemudian, berupaya agar mereka bisa kembali berdiri tegak menghadapi serta memahami eksistensi sendiri (halaman 163). Akhirnya, Paul wafat meninggalkan istri dan seorang batita.

Diresensi Yeti Islamawati, SS, Alumna Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top