Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kenaikan Harga I Jika Inflasi Tak Kunjung Terkendali, maka Kelas Bawah kian Terpuruk

Daya Beli Kelas Menengah Turun, Tergerus Lonjakan Harga Kebutuhan Pokok

Foto : Koran Jakarta/M Fachri

Daya Beli Kelas Menengah Turun I Aktivitas kelas menengah di jantung perekonomian Jakarta, Jalan Sudirman belum lama ini. Daya beli mereka terus turun karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok.

A   A   A   Pengaturan Font

» Solusi yang paling ampuh adalah mengendalikan harga pangan termasuk mengurangi pangan impor.

» Kemiskinan naik tinggi karena kelas menengah di ambang bawah kan langsung jadi miskin

JAKARTA - Kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras dalam beberapa waktu terakhir sudah berdampak pada tergerusnya daya beli kelas menengah di Indonesia. Hal itu karena pendapatan kelas menengah relatif stagnan, sedangkan kenaikan harga kebutuhan pokok melonjak signifikan.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), dalam setahun terakhir, harga beras sudah melonjak 20 persen dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 tercatat seharga 12.650 rupiah per kilogram (kg). Dalam lima bulan kemudian, tepatnya pada Juni 2024, harga beras sudah melonjak menjadi 15.350 rupiah per kg.

Kenaikan itu menjadi tantangan tersendiri bagi kelas menengah di Indonesia, karena mereka tidak mendapat fasilitas instrumen perlindungan sosial yang memadai.

Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, yang diminta pendapatnya mengatakan jika daya beli masyarakat kelas menengah saja turun, maka bisa dipastikan masyarakat kelas bawah akan lebih lemah lagi.

"Pertumbuhan ekonomi kita yang lebih banyak didukung oleh belanja rumah tangga, sehingga belum sepenuhnya bisa dirasakan dampaknya oleh semua lapisan masyarakat, karena hanya lebih menguntungkan bagi golongan kelas atas yang persentasenya lebih sedikit, tetapi menguasai perekonomian karena konsumsi pasar meningkat, membuat bisnis mereka untung," kata Bagong.

Kalaupun ada kelas menengah yang jalan-jalan di pusat perbelanjaan, kebanyakan hanya untuk cuci mata dan makan bersama keluarga. Hanya sebagian kecil yang berbelanja. Mereka melakukan itu untuk menekan pengeluaran mereka lebih memilih belanja online karena harganya di bawah produk di mal, karena tidak perlu membayar sewa stan dan menggaji banyak pegawai.

Kondisi tersebut, jelasnya, otomatis akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja yang didominasi kelas bawah sehingga pada akhirnya daya beli mereka semakin lemah.

"Bisa dibayangkan bagaimana pelaku usaha kecil-menengah yang masih asing dengan teknologi karena latar belakang pendidikan, kultur, dan sebagainya, tentu akan tergerus. Mau tidak mau, pedagang dari golongan masyarakat kelas bawah yang lemah permodalan dan tidak punya akses kredit, daya belinya akan terus tergerus," kata Bagong.

Oleh sebab itu, kalau pemerintah ingin mencapai pertumbuhan yang berkualitas, harus memperkuat fondasi ekonomi kelas bawah karena jika mereka kuat, daya belinya ikut terangkat dan ikut menguntungkan kelas di atasnya. "Harus bottom-up, bukan sebaliknya," kata Bagong.

Tidak Berkualitas

Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan penurunan daya beli kelas menengah di Indonesia memperlihatkan sebuah kondisi yang mengkhawatirkan keberlanjutan ekonomi di Indonesia.

"Sebab, jika kelas menengah yang notabene memiliki penghasilan lebih baik saja mengalami penurunan daya beli, maka kondisi kelas bawah tentu lebih memprihatinkan. Bisa dipastikan kemiskinan naik tinggi karena kelas menengah di ambang bawah kan langsung drop jadi miskin," kata Aditya.

Penurunan daya beli, paparnya, memperlihatkan masalah struktural dalam perekonomian Indonesia. Pertama adalah deindustrilasasi dan kedua kemampuan pemerintah mengendalikan inflasi.

Deindustrialisasi dini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan sektor manufaktur kehilangan kontribusi signifikan terhadap PDB. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi industri manufaktur terhadap PDB masih sebesar 23,56 persen pada kuartal I-2014, namun pada kuartal I-2024 angkanya turun menjadi 19,28 persen.

"Penurunan kontribusi industri manufaktur ini dibarengi juga dengan penurunan kemampuan pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja artinya meskipun tumbuh karena ditopang konsumsi sehingga tidak berkualitas," katanya.

Masalah kedua adalah kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Inflasi, terutama inflasi bahan pangan, memiliki dampak yang signifikan terhadap daya beli kelas menengah. Bahan pangan merupakan komponen utama dalam pengeluaran rumah tangga, dan kenaikan harga pangan dapat secara langsung mengurangi daya beli masyarakat.

Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan daging menyebabkan pengeluaran rumah tangga meningkat, sementara pendapatan tidak mengalami kenaikan yang seimbang. Kondisi ini semakin diperburuk oleh berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada kelas menengah. Kenaikan biaya pendidikan (UKT) dan kesehatan (BPJS), serta kontribusi lainnya seperti Tapera, membuat beban ekonomi kelas menengah semakin berat.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan jika inflasi tak kunjung terkendali maka kelas bawah kian terpuruk. Sebab itu, dia tidak sepakat dengan wacana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi karena nanti efeknya secara tidak langsung menekan masyarakat bawah. Begitu juga rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada awal 2025.

"Pemerintah sebaiknya lebih mencari solusi agar kelas bawah ini secepatnya terbantukan, bukan justru menambah masalah," kata Awan.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan solusi yang paling ampuh adalah mengendalikan harga pangan termasuk mengurangi pangan impor yang sensitif terhadap pelemahan kurs rupiah.

Selain itu, perlu mendorong peningkatan porsi kredit usaha rakyat (KUR) mikro dan ultra mikro dan memperluas kesempatan kerja di sektor industri pengolahan serta perkuat jaminan sosial ke pekerja informal.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top