Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Emisi Karbon | Pembangunan Pembangkit EBT dalam 10 Tahun Mendatang Telan Biaya USD50 Miliar

Dampak Perubahan Iklim Kian Nyata

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong percepatan pembangunan pembangkit yang ramah lingkungan yang berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) untuk meningkatkan pasokan kelistrikan nasional. Di sisi lain, dampak perubahan iklim kian nyata seiring meningkatnya bencana global.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan dalam satu dekade ke depan, pemerintah akan membangun pembangkit listrik berbasis EBT berkapasitas total mencapai 22 gigawatt (GW) yang diperkirakan akan menghabiskan biaya cukup besar.

Meskipun mahal, terangnya, pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT salah satu cara untuk mengakselerasi proses transisi energi dan mengejar target net zero emission pada 2060. Sebab, pembangkit EBT sudah tentu merupakan pembangkit tanpa emisi karbon.

"Pembangunan pembangkit EBT dalam 10 tahun mendatang, akan memakan biaya sebesar 50 miliar dollar AS," ujarnya melalui keterangannya pada acara B20 Summit Dialogue on Advancing Innovative, Inclusive and Colaborative Growth di Nusa Dua Bali, Minggu (13/11).

Dengan biaya besar tersebut, Arifin memaparkan pemerintah harus memberikan kemudahan kepada investor untuk menanamkan modalnya di sektor pembangkit EBT. Salah satunya dengan cara membuat kebijakan dan regulasi yang memudahkan serta mampu membuat investor tertarik untuk berinvestasi.

Sebut saja, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang baru disahkan pada September lalu. Kemudian, ada pula Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada kesempatan lain, Pengamat Energi Terbarukan, Surya Darma, meminta pemerintah memanfaatkan momentum G20 menagih komitmen kolaborasi global untuk mendukung pendanaan transisi energi. "Sangat wajar jika dalam pertemuan G20 ini kita mendorong negara-negara anggota untuk memberikan leadership-nya dalam memprioritaskan pembangunan energi terbarukan," ucapnya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (14/11).

Selama ini, lanjutnya, negara G20 berkontribusi besar atas emisi karbon secara global. Karena itu, sebagai tanggung jawab global, wajar juga jika G20 mengambil inisiatif memimpin dalam upaya penurunan emisi karbon secara global dengan langkah aksi nyata melalui berbagai prioritas.

Dampak Nyata

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, mengungkapkan krisis yang sedang dihadapi dunia sebagai dampak dari perubahan iklim, kian mengkhawatirkan. Dibutuhkan aksi lebih nyata ketimbang sekadar komitmen guna melindungi dunia dari dampak terburuk, salah satunya dengan penguatan multilateralisme.

"Kita membutuhkan multilateralisme lebih dari sebelumnya," tegas Fadli dalam intervensinya pada sidang COP27 sesi Climate Action and Sustainable Development: How Can Parliament Address The Interlinkages for a More Resilient World? di Sharm El-Sheikh, Mesir, Minggu (13/11).

Fadli menjelaskan kerja sama internasional sangat penting karena dampak dari perubahan iklim sudah melampaui batas. Parlemen, lanjutnya, melalui upaya diplomasi, harus bertindak sebagai katalis untuk memperbarui solidaritas antar negara dalam rangka mewujudkan tujuan yang tertuang dalam Perjanjian Paris.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top