Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Per Mei 2018, Total Utang Pemerintah Rp4.169 Triliun

Dalam Lima Bulan, Pemerintah Tarik Utang Baru Rp179 Triliun

Foto : koran jakarta /ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Investor meminta imbal hasil tinggi, lelang SBN April dan Mei tak memenuhi target.

>>Defisit dagang berlanjut, kurs rupiah akan terpukul karena permintaan dollar meningkat.

JAKARTA - Pemerintah mengungkapkan telah menarik utang baru sebesar 179,2 triliun rupiah dalam lima bulan pertama tahun ini (Januari-Mei 2018). Utang tersebut digunakan untuk menutup defisit kas keuangan negara.

Akibatnya, total utang negara terus meningkat dari bulan ke bulan. Data realisasi APBN per Mei 2018 menunjukkan, total utang pemerintah mencapai 4.169,09 triliun rupiah.

Dari total utang tersebut rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menunjukkan kenaikan hingga hampir mencapai 30 persen. Penarikan utang baru tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat konferensi pers di Jakarta, Senin (25/6).

Menkeu menilai secara persentase pertumbuhan penarikan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) untuk Mei 2018 menunjukkan tren yang menurun.

"Total penerbitan sudah 43,25 persen dari target, minus 14,90 persen," jelas dia. Sri Mulyani mengakui depresiasi rupiah dalam beberapa bulan terakhir memengaruhi lelang SBN sehingga lelang di akhir April dan awal Mei lalu tidak memenuhi target.

Menurut dia, hal itu disebabkan investor cenderung wait and see terhadap perkembangan pasar. "Permintaan investor akan imbal hasil melebihi kewajaran di pasar sekunder juga memengaruhi keputusan untuk tidak mengambil penawaran dalam lelang di awal Mei," jelas Menkeu.

Sebelumnya dikabarkan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia yang terus meningkat semestinya diimbangi dengan penggunaan utang yang lebih produktif.

Misalnya, untuk setiap satu dollar AS utang yang ditarik harus bisa menghasilkan pendapatan 2-3 dollar AS.

Dengan demikian, pemerintah mampu membayar kembali utang tersebut lebih cepat, sehingga tidak membebani generasi mendatang.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), jumlah ULN per akhir April 2018 sebesar 356,9 miliar dollar AS atau 4.996,6 triliun rupiah (pada kurs 14 ribu rupiah per dollar AS).

Rinciannya, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 183,8 miliar dollar AS dan utang swasta termasuk BUMN senilai 173,1 miliar dollar AS. Posisi ULN itu tumbuh 7,6 persen secara tahuan (year-on-year/yoy).

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menilai sejauh ini utang tersebut belum dimanfaatkan secara produktif. Terbukti bahwa postur belanja negara masih cenderung didominasi oleh belanja konsumtif.

Bahkan, belanja pegawai porsinya sekitar 26 persen dari total belanja pemerintah. Bhima menambahkan dengan postur belanja yang kurang produktif tersebut maka efektivitas utang jadi berkurang.

Belanja belum bisa menstimulus sektor riil, sehingga rasio pajak bahkan turun di kisaran 9 persen pada 2017. Semestinya, imbuh dia, utang bisa mendorong penerimaan pajak. Akan tetapi, fakta yang terjadi utangnya naik 7,6 persen (yoy), tapi pertumbuhan realisasi pajak cuma naik 4 persen.

Dampak Proteksionisme

Sementara itu, menanggapi defisit neraca perdagangan Mei 2018, Bhima mengemukakan defisit perdagangan itu sesungguhnya terjadi karena besarnya impor dipengaruhi pelemahan kurs rupiah serta membengkaknya defisit migas.

Di sisi lain, ekspor produk andalan menyusut akibat dampak proteksionisme global. Indikator dampak kurs rupiah terhadap impor,

lanjut dia, tecermin dari harga rata-rata barang impor nonmigas yang turun 2,5 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dari 1.290 dollar AS per ton menjadi 1.258 dollar AS per ton. "Tapi, nilai impornya justru naik signifikan.

Artinya, nilai impor bengkak karena selisih kurs rupiah dan dollar," jelas dia, Senin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Mei 2018 defisit 1,52 miliar dollar AS atau sekitar 21,4 triliun rupiah.

Secara kumulatif, defisit perdagangan pada Januari-Mei 2018 mencapai 2,8 miliar dollar AS. Padahal periode sama tahun lalu, neraca perdagangan surplus 5,9 miliar dollar AS.

"Jika defisit dagang terus berlanjut, akan memukul kurs rupiah akibat permintaan valas terutama dollar meningkat untuk kebutuhan impor. Rupiah bisa kembali tertekan ke level 14.600-14.700 rupiah per dollar AS atau terburuk sejak 2016," tukas Bhima.

Problem lain, lanjut dia, adalah kemungkinan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang terkena dampak pelemahan ekspor khususnya komoditas perkebunan dan pertambangan.

Ujungnya, net ekspor akan menurun dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top