Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Earth Hour 2019

Cintai Bumi dengan Beralih ke Transportasi Publik

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Earth Hour, sebagai gerakan akar rumput terbesar untuk lingkungan akan kembali diadakan untuk menyatukan jutaan orang di seluruh dunia atas komitmennya terhadap planet Bumi.

Kegiatan tersebut merupakan ajang ketika masyarakat mulai peduli pada lingkungan sekitar mereka, terlebih Bumi yang mereka tinggali dengan mematikan lampu selama satu jam, yaitu mulai dari pukul 20.30 sampai 21.30 WIB. "Earth Hour tidak hanya mengenai mati lampu saja, tetapi mengenai bagaimana kita berhubungan dengan Bumi. Yang pada saat itu juga mengingat kembali jejak kita sebagai manusia, apa pola konsumsi dan produksi yang kita lakukan yang menyakiti dan merusak Bumi," tutur Rizal Malik selaku CEO WWF Indonesia.

Sejak pertama kali diadakan pada 2009, Rizal mengatakan banyak dampak positif yang dapat dilihat dari diadakannya Earth Hour setiap tahunnya. Ia bercerita, bahwa dari awalnya hanya gerakan yang dilakukan WWF saja, kini bahkan telah banyak berkembang dengan terdirinya Komunitas Earth Hour di kota-kota di Indonesia.

Belum cukup di sana, kesadaran masyarakat dan pihak swasta untuk terlibat pun sangat membantu untuk terus menjadikan Bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman.

Pada Earth Hour 2019, WWF Indonesia dan Komunitas Earth Hour di 30 kota mengajak semua lapisan masyarakat khususnya generasi muda untuk menjadi bagian dari percakapan dan solusi yang diperlukan untuk membangun masa depan.

WWF berharap untuk meningkatkan kesadaran lebih dari 5 juta anak muda agar mengadopsi gaya hidup yang lebih hijau dan berkelanjutan pada tahun 2020, salah satunya dengan menggunakan transportasi umum demi mengurangi emisi gas rumah kaca.

Rizal menambahkan, bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen pada 2030 dan 11 persennya adalah dari transportasi publik. Untuk itu, publik juga harus ikut serta dengan cara menggunakan transportasi publik.

Baca Juga :
Akan Segera Digarap

Berdasarkan data Kementerian ESDM, konsumsi energi di sektor transportasi 2007 sebesar 29 persen dan meningkat menjadi 47 persen pada 2017. Tercatat pada 2016, kalau sektor transportasi menghasilkan emisi sebanyak 1,28 juta ton dengan rata-rata peningkatan 6,7 persen per tahun. Peningkatan emisi ini lebih besar 1,5 kali lipat dari konsumsi bahan bakarnya.

Rizal menambahkan bahwa emisi gas rumah kaca banyak berasal dari penggunaan energi yang bersumber dari batu bara dan transportasi. Dengan berkurangnya emisi gas rumah kaca, tentunya keberlangsungan hidup di Bumi juga akan jauh lebih nyaman. Karena perlu diketahui, bahwa emisi gas rumah kaca sangat mempengaruhi perubahan iklim di Bumi.

Contohnya, Bumi yang semakin memanas akan membuat es-es di Antartika meleleh jauh lebih cepat. Air laut di seluruh dunia pun menjadi naik sehinga pemukiman penduduk yang berada di pantai banyak yang terendam dan sangat berdampak ke pada ekonomi bagi masyarakat yang bergantung pada laut dan pantai. "Tidak akan ada terumbu karang dan ikan, karena laut semakin menghangat. Budaya setempat pun akan berubah," katanya.

Maka dari itu, kini saatnya untuk beralih dari sumber bahan bakar batu bara menjadi energi terbarukan dan perbaiki sistem transportasi publik agar masyarakat dapat beralih dari menggunakan kendaraan pribadi menjadi transportasi publik.

"Kalau separoh dari masyarakat Jakarta berhenti menggunakan kendaraan pribadi, manfaatnya akan dapat terlihat. Tidak akan ada macet, lalu juga ada efisiensi penggunaan energi yang menggunakan bahan bakar fossil dan bisa menikmati transportasi publik," ujar Rizal. gma/R-1

Manfaatkan Sumber Daya Alam Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya, tidak hanya dengan budaya dan etnis yang dimilikinya, melainkan juga dengan sumber daya alam yang melimpah. Diketahui, sedikitnya Indonesia mempunyai 33 ribu jenis tanaman yang tentunya sangat bermanfaat untuk kehidupan makhluk hidup.

Tidak ingin menyia-nyiakan hal itu, Martha Tilaar pun melakukan inovasi-inovasi dengan memberdayakan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia dan masih sangat jarang diketahui oleh orang banyak. Sebut saja, mulai dari menggunakan cabai rawit yang umum digunakan sebagai bahan masakan hingga tanaman kerehau yang jarang terdengar namanya.

"Indonesia merupakan negara yang kaya dengan alam yang luar biasa. Dan untuk menciptakan cultural identity-nya, kami mulai melakukan riset dengan menggunakan bahan-bahan yang dimiliki oleh alam Indonesia," ujar Kilala Tilaar, Corporate Creative Innovation Director dari Martha Tilaar Innovation Center pada acara press conference Fearless Beauty Sariayu Martha Tilaar.

Pada acara tersebut, Sariayu mengenalkan kampanye terbaru mereka mengenai perempuan yang membawa perubahan bagi diri mereka dan orang di sekeliling mereka.

Cabai rawit yang dikenal sebagai bahan masakan ternyata memiliki manfaat untuk permasalahan rambut. Menurut riset yang dilakukan Martha Tilaar, cabai rawit dapat membuka pori-pori yang ada di kulit kepala sehingga membuatnya dapat bernafas khususnya untuk perempuan yang sehari-harinya menggunakan hijab. Karena permasalahan yang seringkali dialami oleh perempuan berhijab adalah rambut yang berminyak, lembab, berkeringat karena kesulitan bernafas. Ada lagi, buah langsat yang ternyata kaya akan vitamin C. "Buah langsat ini dibuat menjadi bedak dingin dan digunakan oleh orang-orang di Kalimantan untuk menghalau sinar matahari ke kulit dan setelah diteliti ternyata kaya akan vitamin C dan bagus antioksidannya," lanjut Kilala.

Di samping itu semua, ternyata ada kendala lain yang ditemui dalam melakukan pengembangan produk yang menggunakan bahan-bahan asli Indonesia. Kilala menceritakan, salah satunya adalah mengenai pembakaran hutan. "Kami melakukan kerjasama mengenai tanaman kerehau yang dari hasil risetnya bagus, formulanya pun bagus, namun ternyata hutannya mengalami kebakaran," ceritanya.

Akibat dari kebakaran hutan itu, mereka pun harus mengembangkan terlebih dahulu DNA tanaman tersebut agar dapat kembali mengembang biakkan tanaman kerahau. Selain itu, akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, beberapa tanaman endemik bermanfaat pun hilang.

"Jadi masalah pertama adalah kebakaran hutan dan yang kedua teknologi yang belum mumpuni. Tetapi itu tidak begitu menjadi masalah karena kita dapat berkolaborasi menggunakan teknologi dari negara lain sehingga bisa sama-sama menguntungkan," tutup Kilala. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top