Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bukan Solusi, Penempatan TNI dalam Jabatan Sipil Dinilai Malah Akan Lahirkan Konflik Kepentingan

Foto : Istimewa

Ilustrasi

A   A   A   Pengaturan Font

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan yang mewacanakan revisi Undang-Undang TNI demi mengatur penempatan prajurit aktif di jabatan-jabatan kementerian.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menilai usulan Luhut kian problematis. Menurutnya penempatan prajurit aktif di kementerian sangat kontraproduktif terhadap semangat profesionalisme militer yang mengamanatkan agar TNI fokus pada tugas pertahanan sebagaimana diamanatkan konstitusi.

"Kami melihat bahwa upaya penempatan TNI pada jabatan sipil lagi-lagi menunjukan kegagalan manajerial dalam mengidentifikasi masalah di tubuh institusi. Selama bertahun-tahun TNI terjebak dalam wacana penempatan perwira aktif di berbagai jabatan sipil," ujar Fatia dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, Fatia menilai ditempatkannya TNI pada jabatan sipil menunjukkan bahwa agenda pengembalian nilai orde baru semakin terang-terangan dilakukan.

"Hal tersebut terus dilakukan sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai masalah institusi seperti halnya menumpuknya jumlah perwira non-job. Alih-alih melakukan evaluasi mendalam dan menyasar pada akar masalah, wacana untuk membuka keran dwifungsi TNI terus diproduksi," jelasnya.

Tak hanya itu, menurutnya KontraS mengkhawatirkan diperkenankannya TNI menempati jabatan sipil, justru dapat memicu ketidakprofesionalan khususnya dalam penentuanGa jabatan, hingga berpotensi melahirkan konflik kepentingan mengingat beberapa menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo memiliki latar belakang militer.

"Mekanisme bukan lagi berfokus pada kualitas seseorang dalam kerangka sistem merit, melainkan berdasarkan kedekatan atau 'power' yang dimiliki. Belum lagi beberapa menteri yang menghuni kabinet Presiden Joko Widodo memiliki latar belakang militer, sehingga akan berpotensi besar melahirkan konflik kepentingan," tutur Fatia.

Lebih lanjut, KontraS menuturkan terdapat sejumlah permasalahan manajerial yang terjadi di tubuh TNI sejak 2019, yakni membludaknya prajurit non-job justru disertai dengan bertambah besarnya jumlah pasukan TNI khususnya Angkatan Darat (AD). Saat itu, Panglima sebelumnya yakni Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa terdapat 500 perwira TNI tidak dalam tugas.

"Sayangnya, langkah atau solusi yang ditawarkan selalu menempatkan TNI pada jabatan sipil. Kuat dugaan bahwa pada praktiknya hanya berujung pada bag-bagi jabatan, tanpa memperhatikan kebutuhan," tambahnya.

Di sisi lain, KontraS menilai negara harus memperbaiki penerimaan anggota TNI dan memperbaiki struktur pos kemiliteran dibandingkan dengan menempatkan prajurit aktif pada posisi sipil tertentu. Hal ini disebut Fatia juga memicu lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak ditujukan untuk mensejahterakan rakyat.

"Kami mengkhawatirkan bahwa seleksi besar-besaran tanpa pernah dibarengi oleh audit penerimaan hanya menambah rumit persoalan. Seiring berjalannya waktu jumlah jabatan akan terus mengerucut, sementara jumlah perwira tak berkurang. Hal ini pada akhirnya membuat posisi yang tersedia tidak akan cukup mengakomodir seluruh jumlah TNI aktif. Belum lagi permasalahan vetting mechanism yang menjadi ukuran jenjang kenaikan pangkat sampai saat ini belum jelas.

Atas dasar tersebut KontraS mendesak Presiden Jokowi untuk menegur dan menertibkan pejabat yang terus mengeluarkan pernyataan untuk mengembalikan dwi fungsi TNI. KontraS juga mengimbau para pejabat dalam pemerintahan untuk menghentikan segala bentuk upaya mengembalikan jabatan TNI di ranah sipil. Sementara untuk TNI, KontraS berharap TNI untuk tetap profesional dan fokus pada tugasnya sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU TNI.

"Usulan dari LBP juga menunjukkan bahwa ternyata negara mendiamkan pikiran dan semangat otoritarianisme Orde Baru di tataran pejabatnya. Penting bagi presiden untuk menegur sekaligus 'membersihkan' para pejabat dari pikiran semacam ini agar bisa fokus untuk menyejahterakan masyarakat dan melunasi janji yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan," ujar Rivanlee Anadar, Wakil Koordinator KontraS.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top