Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pangan - Presiden Sepakat Data Pertanian Harus Dirapikan

BPK Minta Pemerintah Benahi Sistem Impor Pangan

Foto : ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN

BERAS IMPOR - Pekerja menurunkan beras impor asal Vietnam milik Perum Bulog di Pelabuhan Indah Kiat Merak, Cilegon, Banten, Kamis (5/4). Beras impor sebanyak 19.900 ton itu merupakan pengiriman yang ketiga kali dari 54 ribu ton beras cadangan Bulog untuk mengisi stok cadangan di Gudang Bulog Subdivre Tangerang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta pemerintah memperbaiki sistem impor pangan termasuk beras.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai kebijakan pangan pemerintah selama ini terpaku pada upaya ketahanan pangan yang terlalu mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bukan fokus meningkatkan produktivitas dari petani sendiri. Padahal, impor pangan yang cenderung tanpa kendali itu terbukti mematikan petani sendiri, dan hanya menguntungkan petani negara eksportir.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menemukan 11 kesalahan dalam impor pangan yang dilakukan antara tahun 2015 hingga semester I 2017. Oleh karena itu, auditor negara tersebut meminta pemerintah membenahi sistem impor pangan.

Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, menjelaskan salah satu hasil pemeriksaan yang signifikan pada pemerintah pusat adalah terkait pengelolaan tata niaga impor pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dari hasil itu, BPK menyimpulkan bahwa sistem pengendalian internal Kemendag belum efektif untuk memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Rekomendasi kami kan supaya perbaiki sistemnya, bukan masalah impor atau tidak impor. Tapi memang harus diperbaiki kapan impornya, harus sama semua datanya dengan Kementerian Pertanian, Kementerian terkait," kata Moermahadi, di Jakarta, Kamis (5/4).

Dia mengemukakan hal itu usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2017 kepada Presiden, di Istana Merdeka.

Menurut Moermahadi, Presiden Jokowi menyambut baik temuan BPK tersebut. Presiden berjanji akan memperbaiki sistem impor pangan agar tak ada lagi perbedaan data antara Kemendag dan kementerian terkait lainnya. "Ya, akan ditindaklanjuti, Presiden bilang. Karena memang data itu harus kita rapikan," kata Moermahadi.

"Kami kan usulnya bahwa surat impor perdagangan keluar kalau data pertanian, kelautan, yang berhubungan dengan itu harus masuk dulu. Kalau enggak ada data itu, enggak usah (impor)," ujar dia. Sebelumnya, BPK menemukan 11 kesalahan impor pangan dalam kurun dua tahun.

Beberapa di antaranya penerbitan Persetujuan Impor (PI) gula dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 1,69 juta ton, penerbitan PI Gula Kristal Mentah (GKM) sebanyak 108 ribu ton dengan nilai 783,28 miliar rupiah, penerbitan PI beras sebanyak 70.195 ton dengan realisasi sebanyak 36.347 ton, hingga pelaksanaan impor beras kukus sebanyak 200 ton dengan nilai mencapai 1,65 miliar rupiah oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).

Sebetulnya, lanjut Moermahadi, pemerintah sudah punya sistem perizinan ekspor impor melalui Inatrade. Menurut dia, Kementerian Perdagangan seharusnya bisa mengawasi realisasi impor yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri.

Perbaiki Tata Niaga

Terkait dengan prioritas kebijakan pangan, Guru Besar Pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan seharusnya yang disasar adalah kedaulatan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan pangan diupayakan dari produksi dalam negeri. "Dengan kedaulatan pangan, petani akan menjadi pihak yang paling berdaulat sesuai dengan risiko yang diembannya.

Untuk itu, pemerintah diharapkan memperbaiki tata niaga pangan," kata dia. Menurut Ramdan, selama ini dengan paradigma ketahanan pangan, dua minggu sebelum panen, pemerintah malah impor beras dengan dalih perhitungan untuk mencukupi kebutuhan tiga bulan ke depan. "Padahal, saat itu sudah bisa dicukupi dari panen.

Hal ini terjadi karena data yang ada selalu tidak klop, karenanya selalu dipilih data yang menguntungkan pengusaha," ujarnya. Ramdan menjelaskan dalam program kedaulatan pangan, petani yang dalam keadaan high risk akan mendapat keuntungan yang paling besar. "Bukan seperti sekarang risikonya paling besar, tapi paling kecil keuntungannya.

Ini terjadi karena tata niaga yang ada sekarang lebih ditentukan oleh aspek hilir, harga ditentukan oleh pihak yang dekat dengan konsumen, seperti tengkulak, penggilingam, distributor dan lainnya," kata dia. Seperti dikabarkan, tren kenaikan harga atau inflasi pangan semestinya dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan, antara lain ditandai dengan kenaikan nilai tukar petani (NTP).

Akan tetapi, inflasi pangan yang terjadi dalam tiga bulan pertama tahun ini, justru beriringan dengan penurunan indikator kesejahteraan petani atau NTP sebesar 1,1 persen.

ahm/YK/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top