Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

BPIP: Pendidikan Harus Membahagiakan Anak-anak

Foto : istimewa

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo saat seminar bertema Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Bernegara di Jogja Green School, Sleman, DIY, Sabtu (22/7).

A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo menyatakan, pendidikan Pancasila akan menciptakan karakter Pancasilais dalam diri anak-anak muda dan membahagiakan anak-anak.

Benny mengatakan, pendidikan Pancasila diajarkan kepada murid-murid dari PAUD hingga SMA mulai Tahun Ajaran 2023-2024.

"Pelajaran ini bisa mengajarkan anak-anak untuk memiliki cita rasa Pancasila, dan menjadi nilai keutamaan hidup. Ini tidak hafalan atau doktrinasi lagi, ini untuk membawa anak-anak menjadikan Pancasila nilai dalam kehidupannya," kata Benny saat seminar bertema Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Bernegara di Jogja Green School, Sleman, DIY, Sabtu (22/7).

Pelajaran Pancasila, kata Benny, memakai metode 70 persen pengalaman dan 30 persen teori. Hal ini sesuai dengan nilai dari Ki Hajar Dewantara: pendidikan untuk menjadi. Bukan menghafal dan mengingat, tetapi anak-anak akan benar menjadi, menjadi insan profil Pancasila," jelasnya.

Budayawan ini menyatakan garis besar isi pembelajaran mata ajar Pancasila: "Anak-anak diajarkan keragaman. Anak-anak sadar kalau mereka berbeda tetapi satu. Pancasila adalah ideologi yang menyatukan hal itu. Menghargai budaya lokal dan budaya orang lain, misalnya. Ini yang ditanamkan sejak dini."

"Dari PAUD sampai SD, penekanan lebih kepada bagaimana hidup dengan nilai Pancasila dari hal-hal kecil dan mudah digunakan. Saat SMP, baru mulai diajarkan sejarah Pancasila dan Indonesia, serta pengenalan tokoh-tokoh. SMA, baru diajarkan dan mengenal soal konsep Pancasila. Jadi, semua sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing jenjang," katanya.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini menyatakan urgensi pendidikan Pancasila, menyusul hasil survei dari Setara Institute terhadap anak-anak muda di lima kota besar di Indonesia.

"Sekitar 83 persen anak muda menyatakan Pancasila bukan ideologi permanen. Ini mengerikan. Pancasila padahal dielu-elukan oleh banyak tokoh internasional sebagai pemersatu yang ampuh. Imam dari Suriah pernah menyatakan Indonesia beruntung punya Pancasila, dimana menyatukan 700 lebih suku bangsanya; di Suriah, hanya sekitar 10 suku bangsa, tetapi bertikai. Kita tahu bagaimana keadaan Suriah sekarang. Pancasila itu bukan main-main, dan Pancasila benar menyatukan kita semua."

Benny menambahkan, dalam mengajarkan pelajaran Pancasila, harus ada perubahan paradigma penyampaian.

"Orientasi pengajaran harus bukan pada hafalan atau doktrinal, tetapi anak-anak diarahkan untuk menjadikan apa yang bahan ajar menjadi nilai hidupnya. Banyak tugas pribadi dan reflektif, banyak visual dan belajar membangun kebersamaan. Anak-anak harus bisa mengalami pendidikan yang menyenangkan, bukan hafalan lagi, tetapi perjumpaan dengan teman dan sesamanya, dan akhirnya Pancasila bisa menjadi ideologi hidup dan bekerja."

"Guru mampu memberikan inspirasi kepada murid agar dia memiliki kemandirian, kreativitas, dan kecakapan teknologi. Ubah paradigma, bukan monolog lagi. Anak-anak menggali sendiri pengetahuan, guru menjadi sahabat, teman, dan membantu. Paradigma guru harus diubah. Itulah yang ditunjukkan oleh Ki Hajar Dewantara," sebutnya.

Akhirnya, pakar komunikasi politik ini menyampaikan bahwa BPIP menginginkan, dimulai dari pendidikan Pancasila, metode dan paradigma guru, orang tua, serta pihak terkait, dalam pengajaran, menjadi menyenangkan bagi anak-anak.

"Kembalikanlah tugas guru: membuat anak-anak mencintai negara dan bangsanya. Itulah cita-cita Ki Hajar Dewantara. Jangan hilang. Pendidikan bukan instan dan kejar target, tetapi ajarkan kebahagiaan. Guru memahami anak-anak, agar minatnya tersalurkan. Kesalahan sekarang, kita memaksakan anak-anak."

"Sukses bukan jadi dokter atau insinyur, tetapi jadi dirinya sendiri. Kalau anak mau jadi penggiat seni, biarkan. Anak menjadi atlet, biarkan. Jangan konsep: anak harus jadi pegawai, pegawai negeri sipil', itu salah. Biarkan anak-anak menjadi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan dirinya secara baik dan benar. Dukung mereka, jadilah teman mereka dalam belajar," katanya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top