Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ekonomi Global I Indonesia Harus Meningkatkan Indeks Inovasi Global

Bonus Demografi Tidak Cukup Mencapai Kemajuan Suatu Negara

Foto : ANTARA/RAISAN AL FARISI

Buruh bekerja di sebuah pabrik tas di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. RI membutuhkan output Industri berkualitas tinggi sehingga menghasilkan multiplier effect ke ekonomi yang tinggi pula.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Berdasarkan catatan perkembangan PDB global, Tiongkok dan India telah memainkan peran penting dalam perekonomian dunia selama 2000 tahun terakhir. Namun di pertengahan abad ke-20 peranan kedua negara mulai turun. Mengapa Tiongkok dan India tertinggal di belakang mungkin lebih merupakan misteri daripada mengapa mereka berkembang pesat saat ini.

Tiongkok mewakili hampir 20 persen dari PDB global dan pada 2010, menjadi ekonomi terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat (AS). Meski demikian, Tiongkok menolak untuk dilabeli sebagai negara maju sesuai kehendak AS yang menginginkannya. Negeri Tirai Bambu itu bersikeras mempertahankan status sebagai negara berkembang.

Status negara berkembang Tiongkok memang telah diakui oleh dunia. Bahkan, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok (MFA), Wang Wenbin, menyebut bahwa status negara berkembang Tiongkok didukung oleh fakta-fakta konkret seperti Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita tahun 2022 sebesar 12.741 dolar AS atau seperlima dari negara ekonomi maju dan seperenam dari AS.

Tiongkok dan India memang menjadi penyumbang signifikan terhadap ekonomi global, tetapi kontribusi mereka lebih didorong oleh jumlah penduduk yang besar. Kondisi tersebut berbeda dengan negara-negara maju lainnya yang berhasil menghasilkan barang-barang berteknologi tinggi sehingga pendapatan perkapita mereka jauh lebih besar.

Negara-negara maju berhasil mengembangkan industri yang mampu menghasilkan barang-barang dengan standar mutu tinggi dan teknologi canggih, sehingga berkontribusi besar terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi mereka.

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, kepada Koran Jakarta, Minggu (18/6), mengatakan Indonesia menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dibanding India dan Tiongkok. Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan PDB dari penduduk yang banyak sehingga sulit untuk maju.

Indonesia sendiri, katanya, masuk dalam kelompok G20 karena jumlah penduduknya yang besar. Padahal, faktor demografis itu tidak cukup untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam jangka panjang.

Indonesia perlu belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan (Korsel) dan Taiwan yang telah berhasil mengembangkan sektor industri dengan produk-produk berteknologi tinggi. Negara-negara itu mampu menjadi pemain global dalam industri elektronik, dengan mengekspor produk-produk seperti ponsel pintar (HP) dan cip.

"Penting bagi RI untuk fokus pada peningkatan kualitas output dan daya saing industri. Upaya pengembangan industri dengan teknologi tinggi akan membantu menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperkuat ekonomi secara keseluruhan," katanya.

Agar bisa menciptakan produk berteknologi tinggi maka investasi dalam pendidikan dan pelatihan teknis harus ditingkatkan. Dengan meningkatkan kualifikasi tenaga kerja dan mengembangkan keahlian dalam sektor-sektor yang membutuhkan teknologi tinggi, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global," papar Susilo.

Bergantung SDA

Dari Jakarta, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan Indonesia masih terjebak pada kutukan sumber daya, terutama komoditas mentah dan olahan primer membuat pendapatan per kapita cenderung tertinggal.

PDB per kapita Indonesia pada 2022 menurut Bank Dunia tercatat 4.291 dollar AS. Sedangkan Korea Selatan sudah di angka 34.000 dollar AS.

Hal itu menunjukkan negara dengan kapasitas industri, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni bisa memberikan kesejahteraan dibanding negara yang kaya sumber daya alam.

Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia harus meningkatkan indeks inovasi global yang saat ini berada di 75 dan perlu masuk 40 besar ranking dunia. "Kuncinya pada peningkatan belanja riset, registrasi paten, dan kerja sama industri dan institusi pendidikan," kata Bhima.

Selain itu, harus menurunkan tingkat korupsi di berbagai level birokrasi dan mendorong transfer teknologi dari setiap investasi yang masuk.

Pada kesempatan berbeda, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan jumlah penduduk yang besar bisa menjadi beban kalau penduduknya tidak produktif.

Sementara itu, peneliti ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan salah satu pembentuk PDB adalah konsumsi rumah tangga, di mana penduduk yang besar pasti akan membentuk PDB yang cukup besar pula. Begitu yang terjadi pada Tiongkok dan India, termasuk Indonesia.

Seharusnya, kata Nailul, negara berpenduduk besar harus dipadukan dengan output industri manufaktur dengan teknologi tinggi sehingga menghasilkan multiplier effect ke ekonomi yang tinggi pula. "Indonesia tertinggal dalam pengembangan industri manufakturnya, malah yang terjadi deindustrialisasi dini," kata Nailul.

Diminta terpisah, pengamat ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan Indonesia masuk negara G20 karena dari sisi pendapatan nasionalnya mempunyai kapasitas besar.

Namun demikian yang perlu diperhatikan ke depan, jika ingin menjadi kekuatan ekonomi dunia yang punya ketahanan, Indonesia harus mulai meningkatkan pendapatan per kapita dan pemerataan pendapatan dengan mengembangkan industri manufaktur.

"Hilirisasi perlu diperjuangkan terus walau ada hambatan eksternal dan internal," katanya.

Pemerataan Ekonomi

Dari Malang, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Adhi Cahya Fahadayna, mengatakan pemerintah perlu meniru negara-negara maju yang telah berhasil membangun pemerataan ekonomi dan meningkatkan kapasitas SDM serta mengadopsi teknologi untuk kemajuan industri.

"Satu hal yang membedakan antara negara maju dan negara dengan GDP yang tinggi adalah pemerataan kesejahteraan. Bagi negara maju, walaupun terkadang GDP tidak terlalu tinggi, namun pemerataan kesejahteraan sangat terjaga," kata Adhi.

Beberapa masalah dalam pengelolan SDM di negara dengan popuasi besar terutama ketimpangan ekonomi, angka pengangguran yang tinggi, dan rendahnya kualitas pendidikan.

Sementara itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan penataan kembali penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan terpenting bagi pemulihan kembali keuangan dunia yang tengah terjun bebas menuju jurang kejatuhan yang sangat buruk.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top