Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Operasi Moneter - Bank Sentral Akan Pertimbangkan Semua Faktor Eksternal dan domestik

BI Janji Jaga Disparitas Suku Bunga

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan akan menjaga disparitas suku bunga atau differensial interest rate domestik dengan negara-negara maju dan berkembang. Langkah itu dimaksudkan agar instrumen berdenominasi rupiah tetap mampu menarik portofolio asing di tengah semakin tingginya potensi perang suku bunga secara global.

Hal itu ditegaskan Deputi Gubenur BI, Dody Budi Waluyo, di Jakarta, Senin, menyikapi keputusan agresif Bank Sentral Turki menaikkan suku bunga acuannya hingga 625 basis poin menjadi 24 persen, Kamis pekan lalu. "Yang penting berikutnya bagaimana menjaga modal masuk, karena bagaimana pun juga defisit (transaksi berjalan) perlu pembiayaan dan akan tertutupi kalau misalnya aliran modal masuk kita tidak saja dari investasi asing langsung, tapi juga investasi portofolio.

Itu pentingnya jaga perbedaan suku bunga," ujar dia. Disinggung apakah BI akan turut menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate pada rapat dewan gubernur 26-27 September 2018, Dody tidak menjawab spesifik. Dia hanya menegaskan Bank Sentral akan mempertimbangkan semua faktor eksternal dan domestik.

"Kita punya banyak faktor data-data yang kita liat bagaimana perkembangan domestik, perkembangan di luar negeri dilihat. Jadi tidak serta merta suku bunga The Fed naik kita juga menaikkan suku bunga BI. Lalu tidak serta merta Turki dinaikkan suku bunganya kita juga menaikkan," jelasnya. Dia menambahkan BI akan melihat sisi diferensial suku bunga dan risiko ke depannya, baik di luar maupun dalam.

Selain Turki, negara maju lainnya juga diperkirakan akan ikut menaikkan suku bunganya, antara lain Kanada dan Swedia pada kuartal keempat 2018, dan Amerika Serikat (AS) pada September dan Desember 2018. Karena itu, BI berkomitmen menerapkan kebijakan antisipastif dengan jargon front loading, preemptive dan ahead of the curve.

Fundamental ekonomi domestik, kata Dody, juga menunjukkan perbaikan saat ini. Defisit neraca perdagangan Agustus 2018 yang sebesar 1,02 miliar dollar AS sudah jauh turun dibanding Juli 2018 sebesar 2,03 miliar dollar AS. Sementara inflasi hingga Agustus berada di 3,2 persen (yoy) atau dalam sasaran Bank Sentral di 2,5-4,5 persen (yoy) tahun ini.

Penjadwalan RDG

BI menjadwalkan RDG pada 26-27 September 2018. Penjadwalan RDG pada pekan keempat itu khusus untuk menanti keputusan dari komite pasar terbuka Bank Sentral AS (FOMC) 25-26 September 2018. Bank Sentral AS The Federal Reserve diperkirakan pelaku pasar global akan menaikkan suku bunga acuannya yang ketiga kali tahun ini pada rapat itu.

Terkait penjadwalan tersebut, pengamat ekonomi dari institute for development of economics and finance (Indef), Bima Yudhistira, menilai penundaan rapat ini menunjukkan betapa rentannya aliran hot money atau uang panas di pasar modal dan pasar surat utang Indonesia. Sebanyak 40 persen utang pemerintah Indonesia dipegang oleh investor asing.

Maka investor asing melihat arah pergerakan Fed Fund Rate (FFR) sebagai rujukan utama. "Dengan menunda rapat RDG BI justru mengirim sentimen ke pasar bahwa kenaikan Fed Fund Rate benar-benar berbahaya bagi stabilitas moneter di Indonesia," ungkap Bima kepada Koran Jakarta, beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, penundaan tersebut juga menjadi ancang-ancang BI untuk menaikkan bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps atau 50 bps. Padahal, idealnya BI sebaiknya menaikkan bunga acuan sebelum rapat FOMC sebagai bentuk konsistensi kebijakan pre-emptive (antisipasi).

mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top