Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter - Laju Kenaikan Tertahan, Rupiah Kembali Melemah

BI Harus Dahului Naikkan Bunga

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>> The Fed masih akan menempuh siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual.

>> Antisipasi gejolak global, pemerintah harus mewaspadai CAD yang kian melebar.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) semestinya mendahului untuk menaikkan suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate dari level 5,75 persen saat ini.

Sebab, apabila BI menunggu Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed menaikkan bunga acuan lebih dahulu maka implikasinya terhadap perekonomian akan lebih besar, terutama pada potensi pelemahan kurs rupiah.

Bank Sentral AS, Kamis (8/11) waktu setempat, memutuskan untuk menahan suku bunga acuan, Federal Funds Rate (FFR) di level 2,00-2,25 persen.

Pasar telah memperkirakan keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) tersebut dan memproyeksikan The Fed kemungkinan besar akan menaikkan bunga acuan satu kali lagi di Desember nanti. Dengan demikian, akan ada empat kali kenaikan suku bunga AS sepanjang tahun ini.

Pengamat Ekonomi Politik Internasional, Irvan Tengku Hardja, mengingatkan BI tidak bisa hanya mengekor The Fed dalam menetapkan pergerakan suku bunga acuan.

"Kalau hanya menunggu, risiko pada perekonomian khususnya pelemahan rupiah beserta dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan mencegah dengan mendahului langkah The Fed," ujar Irsad, ketika dihubungi, Jumat (9/11).

Sepanjang tahun ini, BI telah menaikkan bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate, sebesar 150 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen.

Menurut dia, jika Bank Indonesia terus menahan bunga acuan maka hanya menguntungkan debitur besar yang telah jor-joran menarik kredit sektor properti yang tidak produktif. Padahal saat ini, outstanding kredit properti sudah sangat besar, sekitar 800 triliun rupiah.

"Saya pikir, bank yang jor-joran menyalurkan kredit properti hingga memicu bubble properti, harus ikut bertanggung jawab jika kreditnya macet. Harus diingat, krisis keuangan 1998 bermula dari kredit macet properti hingga membuat perbankan kolaps," papar Irvan.

Sementara itu, Indeks Dollar yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang dunia, menguat pada Jumat siang. Kurs dollar AS juga kembali menguat terhadap mata uang di Asia, merespons hasil rapat The Fed.

Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan, bahkan The Fed menyebut ada risiko perlambatan investasi di Negeri Paman Sam itu, Namun, risiko tersebut tidak menyurutkan niat The Fed untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter.

Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh.

"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran dua persen dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed.

Pergerakan Rupiah

Laju penguatan rupiah tertahan setelah pernyataan Bank Sentral AS yang hawkish membuat dollar AS kembali menguat.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot, Jumat, ditutup melemah 139 poin atau 0,96 persen menjadi 14.678 rupiah per dollar AS, sekaligus mengikis sebagian apresiasi yang mampu dibukukan tiga hari berturut-turut sebelumnya.

Pelaku pasar menilai investor mulai melakukan profit taking atau aksi ambil untung setelah rupiah menguat tajam. Dalam sepekan terakhir, rupiah menguat 4,8 persen terhadap dollar AS.

Selain itu, pasar juga menantikan rilis data defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang diprediksi melebar. BI mengumumkan CAD pada kuartal III- 2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS atau setara dengan 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan defisit kuartal sebelumnya sebesar 8,0 miliar dollar AS (3,02 persen dari PDB).

Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan meski fundamental ekonomi dianggap cukup mampu menahan gejolak global, tapi pemerintah harus mewaspadai defisit transaksi berjalan yang kian melebar. "CAD itu kan salah satunya karena pelemahan rupiah juga.

Maka, seharusnya dengan rupiah membaik sudah berkurang CAD-nya. Cuma kalau rupiah terus melemah lagi, akan berubah lagi, terutama beban terbanyaknya itu pembayaran utang," kata dia. YK/ahm/bud/WP

Penulis : Eko S, Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top