Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter l Dari 80% Repatriasi DHE, Baru 25% di Antaranya Dikonversi ke Rupiah

BI Harus Agresif Perkuat Devisa

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Bank sentral hingga saat ini belum mengeluarkan aturan yang seketat dengan negara lain terkait devisa hasil ekspor karena dikhawatirkan bersinggungan dengan ketentuan rezim devisa bebas.

MANADO - Bank Indonesia (BI) diimbau lebih agresif memperkuat cadangan devisa dengan menyedot valuta asing (valas) saat terjadi capital inflow atau masuknya dana asing ke pasar keuangan dalam negeri.

"Para ekonom berharap BI lebih agresif menyedot valas saat masuk tidak pasif seperti selama ini. Hal itu agar cadangan devisa lebih tebal sehingga lebih kuat menahan nilai tukar rupiah saat terjadi pembalikan seperti sekarang," kata Pengamat Ekonomi David Sumual dalam pelatihan wartawan yang digelar BI di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (24/8).

Selain memperkuat cadangan devisa, David juga berpendapat pentingnya meningkatkan ekspor terutama produk manufaktur.

"Selama ini ekspor Indonesia sangat bertumpu pada komoditas seperti minyak sawit dan karet serta hasil tambang, saat harga turun maka imbasnya berpengaruh ke menurunnya devisa hasil ekspor (DHE)," kata David.

Demikian juga dengan devisa hasil ekspor yang direpatriasi ke dalam negeri memang sudah mencapai 80 persen, tetapi dari jumlah tersebut hanya 25 persen yang dikonversi ke mata uang lokal atau rupiah.

"Kalau di negara lain seperti Malaysia dan Thailand aturannya lebih ketat, di mana eksportir selain merepatriasi devisa hasil ekspornya juga wajib mengkonversi ke mata uang lokalnya," kata David.

Berbagai langkah tersebut jelas David bisa memperkuat cadangan devisa BI dalam valas selain dengan menarik dana asing melalui instrumen kenaikan suku bunga BI 7- day Reverse Repo Rate.

Beri Diskon

Kepala Divisi Asesmen Makroekonomi BI, Fadjar Majardi, dalam kesempatan itu mengatakan bank sentral hingga saat ini belum mengeluarkan aturan yang seketat dengan negara lain terkait devisa hasil ekspor karena dikhawatirkan bersinggungan dengan ketentuan rezim devisa bebas.

"Kita sedang membahas bersama pemerintah untuk memberikan diskon kepada eksportir yang menahan dananya dalam negeri lebih lama dan mungkin diskon pajak bagi yang mengonversi ke rupiah," kata Fadjar.

Sebagai informasi, pekan lalu, BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50 persen. Kebijakan itu dilakukan sehari setelah krisis keuangan yang terjadi di Turki dan menyebabkan mata uang lira anjlok.

Kendati demikian, papar Fadjar, langkah bank sentral tersebut sebagai antisipasi, bukan respons atas krisis mata uang yang melanda Turki. Bukan hal utama yang menjadi alasan bank sentral menaikkan suku bunga. "BI menaikkan suku bunga salah satunya untuk mengendalikan current account deficit," kata Fadjar.

BI, tambahnya, tetap berupaya menjaga defisit transaksi berjalan berada pada batas aman, yakni 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kenaikan suku bunga yang didasari pengendalian defisit transaksi berjalan pun dibarengi dengan kebijakan pemerintah.

Misalnya, kebijakan Kementerian ESDM untuk menaikkan lifting minyak dan menggenjot produksi batu bara. Selain itu, ada pula kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menyeleksi 500 barang impor.

Alasan lainnya adalah pengetatan likuiditas global yang membuat tekanan terhadap mata uang negara-negara berkembang meningkat.

bud/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top