Beri Perlindungan pada Dunia Usaha Dalam Negeri dari Serbuan Produk Impor
Foto: Sumber: BPS - kj/onesJAKARTA - Kekhawatiran pemerintah tentang perkiraan hilangnya 85 juta lapangan kerja pada 2025 mendatang belum ditindaklanjuti dengan mengambil langkah antisipasi. Bahkan, pemerintah terkesan menutup mata pada kebijakan- kebijakan yang terus membunuh penciptaan lapangan kerja dalam negeri seperti impor berbagai kebutuhan bahan konsumsi.
Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID), Nazar el Mahfudzi, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Jumat (20/9), mengkritik kebijakan pemerintah yang terlalu berfokus pada impor dan menegaskan pentingnya pengembangan industri dalam negeri. Menurutnya, di tengah ancaman hilangnya 85 juta pekerjaan pada 2025 akibat otomasi, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pengusaha lokal yang sudah membangun industri dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia.
"Pemerintah terlalu sibuk dengan impor barang-barang dari luar negeri, padahal ini melemahkan industri kita sendiri. Demokrasi yang sehat seharusnya mendorong penguatan industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan, bukan malah memperbesar ruang bagi barang impor," kata Nazar. Nazar mengatakan para pengusaha yang telah menanamkan modal dan membangun industri di Indonesia sering menghadapi berbagai hambatan, mulai dari regulasi yang berbelit-belit hingga minimnya insentif yang mendukung keberlanjutan usaha mereka.
"Pengusaha lokal seharusnya difasilitasi agar usahanya bisa berkembang dengan baik, bukan justru dipersulit dengan kebijakan yang tidak mendukung. Mereka adalah pilar ekonomi nasional yang harus dilindungi," tegasnya. Menurutnya, demokrasi seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat ekonomi nasional dengan mendukung pengusaha lokal. Jika pemerintah terus memprioritaskan impor, potensi industri dalam negeri untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja akan semakin terhambat.
"Kita harus mulai berfokus pada kebijakan yang mendukung industri dalam negeri agar dapat bersaing dan mandiri di tengah tantangan global," kata Nazar. Demokrasi juga harus memihak ke pengusaha yang telah berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan membangun ekonomi nasional. "Kita harus kurangi ketergantungan pada impor dan mulai membangun industri yang mandiri dan kompetitif," katanya.
Serap Tenaga Kerja
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan hilangnya 85 juta lapangan kerja akibat meningkatnya otomasi atau penggunaan teknologi di berbagai sektor harus diimbangi pemerintah dengan mengurangi impor dan memberi iklim yang kondusif untuk tumbuh kembangnya industri dalam negeri. Kegemaran pemerintah mengimpor berbagai kebutuhan tentu tidak menguntungkan produsen lokal. "Jika situasi seperti ini terus berlangsung, dapat mengarah pada hilangnya pekerjaan dalam skala besar terutama pada sektor manufaktur dan padat karya," tegas Badiul.
Pemerintah perlu memperkuat industri dalam negeri. Pemerintah harus fokus pada pengembangan industri strategis yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mendorong inovasi. Selain itu, pengusaha yang sudah berinvestasi dan membangun industri dalam negeri harus didukung melalui kebijakan yang mempermudah usaha mereka, bukan justru mempersulit dengan regulasi yang berbelit atau kurangnya dukungan infrastruktur.
"Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ekonomi, terutama dalam konteks impor dan pengembangan industri, sejalan dengan upaya menciptakan lapangan kerja berkelanjutan untuk menghadapi tantangan di masa depan," kata Badiul. Beberapa sektor yang perlu jadi fokus pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan adalah pertanian, peternakan dan perikanan, serta pariwisata, ekonomi kreatif dan digital, energi terbarukan, kesehatan, pendidikan dan pelatihan, termasuk konstruksi dan infrastruktur. Peneliti Celios, Nailul Huda, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memaparkan data pekerjaan yang bisa berkurang karena disrupsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan otomatisasi robot.
Sebaliknya, akan ada 97 juta peluang baru bagi masyarakat untuk bisa bekerja di bidang yang berbasiskan teknologi. Untuk mengisi 97 juta lapangan kerja baru itu tentu menuntut kemampuan digital atau digital skill dari sumber daya manusia yang ada. "Ini bisa jadi ancaman jika melihat data bahwa masih banyak pekerja Indonesia yang ketinggalan digital skill-nya. Terkait dengan barang impor, dia mengatakan tidak bisa dipungkiri kalau maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akhir-akhir ini karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. "Ketika impor meningkat, produksi dalam negeri akan turun, ini yang harus dipikirkan agar impor harus ditahan sehingga industri kita bisa bersaing," katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 3 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 4 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 5 Tak Tinggal Diam, Khofifah Canangkan Platform Digital untuk Selamatkan Pedagang Grosir dan Pasar Tradisional
Berita Terkini
- Conan O'Brien akan Jadi Pembawa Acara Oscar 2025
- Sabrina Carpenter Kejutkan Penonton dengan Hadirkan Christina Aguilera
- PM Ishiba Tegaskan Aliansi Jepang dan AS Penting untuk Hadapi Ketegangan Global
- Indonesia Bisa Meniru Ini, Ilmuwan Tiongkok Temukan Metode Baru untuk Tingkatkan Rasa Manis Tomat
- Isyana Sarasvati Buka Konser Tunggalnya dengan Penampilan Lagu Seriosa