Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Nilai Tukar - Jangan Terlena dengan Penguatan Rupiah Belakangan Ini

Bergantung "Hot Money", Rupiah Masih Rawan Gejolak

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengingatkan pergerakan positif kurs rupiah belakangan ini tak lepas dari peran dana asing jangka pendek dan spekulatif atau hot money yang kembali mengalir deras ke instrumen investasi portofolio Indonesia. Oleh karena itu, posisi mata uang RI itu dinilai masih sangat rawan dari gejolak eksternal yang memicu aliran modal asing keluar (capital outflow).

Penguatan rupiah idealnya ditopang oleh perbaikan fundamental ekonomi yang signifikan, misalnya surplus ekspor, sehingga mampu menyeimbangkan, bahkan membuat surplus neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Pada perdagangan di pasar spot, Rabu (7/11), nilai tukar rupiah ditutup menguat tajam 214 poin atau 1,45 persen di level 14.590 rupiah per dollar AS.

Ini merupakan level penutupan terkuat dalam sekitar 2,5 bulan. Adapun pada perdagangan Selasa (6/11), rupiah juga berakhir menguat tajam 173 poin (1,16 persen) menjadi 14.804 per dollar AS. Dalam dua hari, mata uang RI itu telah membukukan apresiasi 387 poin atau 2,61 persen dari pelemahan terakhir di level 14.977 rupiah per dollar AS pada Senin (5/11).

Meski demikian, sepanjang tahun ini (per 7 November), rupiah masih terdepresiasi 7,64 persen, atau terburuk kedua di antara mata uang Asia lainnya setelah rupee India yang terpangkas 14,3 persen.

(Lihat infografis) Pelaku pasar mengemukakan untuk menjaga stabilitas rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus segera melakukan perbaikan struktural agar ke depan defisit transaksi berjalan tidak melebar, contohnya memacu investasi asing langsung di sektor riil atau foreign direct investment (FDI), khususnya yang berorientasi ekspor. Ini perlu dilakukan karena investasi asing di pasar saham dan obligasi bersifat hot money yang cukup rentan oleh sentimen global.

"Pergerakan dana ini sangat dinamis. Aliran dana baik yang masuk maupun keluar begitu cepat, sehingga tidak bisa diandalkan untuk menjaga nilai tukar tetap stabil," ujar analis Muhammad Nafan Aji Gusta, di Jakarta, Rabu. Derasnya aliran dana asing tecermin dari posisi investor asing yang terus membukukan aksi beli bersih di pasar saham dalam sepuluh hari berturut turut.

Pada perdagangan kemarin, pemodal mancanegara itu mencatatkan beli bersih 738 miliar rupiah. Sedangkan di pasar Surat Berharga Negara (SBN), porsi kepemilikan asing meningkat dari 36,93 persen pada akhir Oktober menjadi 37,01 persen pada 6 November atau senilai 869,4 triliun rupiah.

Menanggapi pergerakan rupiah itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, menekankan penguatan rupiah kali ini tidak boleh membuat pemerintah terlena, melainkan harus terus memperkuat instrumen finansial. Dalam hal ini, BI telah menyediakan sejumlah instrumen keuangan seperti fasilitas lindung nilai dan swap.

Faktor Eksternal

Terkait dengan faktor eksternal yang melambungkan kurs rupiah, Bloomberg mewartakan rupiah memimpin penguatan di antara seluruh mata uang di Asia setelah Partai Demokrat berhasil mengambil alih kendali di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemilu paruh waktu di AS. Hal inilah yang sekaligus membebani pergerakan dollar AS dan imbal hasil obligasi AS.

Di sisi lain, Partai Republik, seperti yang telah diperkirakan, mempertahankan mayoritas kursinya di Senat. Terbaginya kendali ini dipandang akan memperlemah dukungan bagi agenda pemerintahan Presiden Donald Trump ke depannya, meskipun diperkirakan tidak akan banyak memengaruhi kebijakan perdagangannya.

"Pasar negara berkembang (emerging market) akan mendapatkan keuntungan dari pelemahan dollar AS setelah pemilu paruh waktu, tetapi kelegaan ini hanya bersifat sementara saat kuatnya ekonomi AS akan mendukung greenback," kata Hannah Anderson, pakar strategi pasar global di JPMorgan Asset Management, Hong Kong.

Menurut dia, hasil akhir pemilu paruh waktu ini tidak akan berdampak pada kebijakan perdagangan Trump, yang akan terus membebani pasar negara berkembang. Dollar AS diperkirakan mendapatkan dukungan lebih lanjut dari pertemuan kebijakan moneter bank sentral AS, Federal Reserve, yang akan digelar pada 7-8 November.

The Fed diperkirakan akan menegaskan kembali niatnya mengenai kenaikan lebih lanjut untuk Fed Funds Rate. Nafan juga menilai, ke depan, rupiah masih dibayangi koreksi karena pemerintah hanya mengandalkan hot money. Namun, koreksi itu masih dalam level yang wajar karena rupiah saat ini bisa dikatakan menguat cukup signifikan setelah jatuh ke titik terendah melebihi level 15.200 rupiah per dollar AS.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top