Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Berburu Suara Milenial

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Tri Wahyuni

Suara pemilih muda menjadi harta karun yang diburu dalam kontestasi politik dewasa ini. Mengingat kuantitasnya yang besar karena tidak salah lagi, bangsa Indonesia sekarang memasuki fase bonus demografi. Menurut data Komisi Pemilihan Umum, daftar pemilih dalam Pemilu 2019 tercatat sebanyak 171.822.431. Jumlah itu sudah masuk daftar pemilih tetap. Namun, tentu akan ada penambahannya mengingat pemutakhiran data pemilih menjelang tahun 2019 masih akan terjadi.

Lalu berdasarkan data statistik berbagai lembaga, menurut perhitungan, Agus Harimurti Yudhoyono, untuk Pemilu 2019, jumlah pemilih yang berusia di bawah 35 tahun mencapai 100 juta. Dengan kata lain pemilih muda sekitar 60 persen. Suara kelompok ini akan amat berpengaruh dalam keterpilihan seorang politikus dan menang kalahnya sebuah partai politik. Maka tak ayal para politikus yang hendak mengikuti kontestasi Pemilu Serentak 2019 mendatang giat mencari cara untuk menarik perhatian pemilih muda.

Jika membaca kajian Political Marketing: Exploring Student's Aspiration and Intention to Vote yang dilakukan Universitas Siswa Bangsa Internasional, terhadap Pemilu Legislatif 2014 lalu, ditemukan kecenderungan apatisme politik pemilih muda. Dalam kisaran 53 pesen pemilih ingin menjadi golongan putih. Di antaranya karena pemilih muda menilai, partai tidak mampu menangani problematika bangsa.

Partai juga dinilai tidak dapat menegakkan sistem hukum dan gagal memperbaiki masalah sosial. Partai kurang peduli keamanan dan tidak berupaya memperbaiki pendidikan. Mereka tidak berusaha meningkatkan kemampuan teknologi dan kurang perhatian pada kebudayaan.

Saya ingin mengerucutkan analisis pada Kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Sesuai deklarasi beberapa waktu lalu, Indonesia punya dua pasangan calon untuk memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2. Sejumlah partai politik telah menunjukkan keberpihakan maupun koalisi-koalisinya. Hampir semua partai menampilkan citra sebagai representasi pemilih muda.

Baca Juga :
Olahraga dan Politik

Coba tengok terlebih dulu yang paling mendasar, yaitu terkait usia calon presiden maupun wakil. Penafsiran tentang "muda" memang tidak semata usia, tapi lebih luas. Ini bisa terkait pemikiran, semangat, dan daya dobrak. Namun ketika jumlah generasi muda Indonesia mendominasi, seperti sekarang dan banyak pula yang kompeten, ganjil rasanya partai politik masih mengusung aktor-aktor lama. Regenerasi di tubuh partai menjadi pertanyaan besar.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mengaku sebagai partainya anak muda dan bahkan mereka membatasi usia keanggotaan, pun tampak tak punya cukup posisi tawar untuk mengusung politikus yang lebih muda dalam arena Pilpres 2019. Ini dapat dimaklumi mengingat PSI sebagai partai baru dengan elektabilitas kecil. Maka, dia belum bisa mengusung calonnya sendiri. Apalagi pasal ambang batas presiden yang tidak kompatibel dengan Pemilu Serentak 2019 masih dimasukkan dalam UU Pemilu.

Waktu pendeklarasian Ma'ruf Amin sebagai pendampin Jokowi, Ketua Umum PSI, Grace Natalie, berkali-kali mengatakan kondisi tersebut memang tidak ideal. "Kami tidak kecewa, kaget iya, karena prosesnya sebelum keluar nama Pak Ma'ruf, sudah ada nama Pak Mahfud. Kondisi memang tidak ideal, lebih baik kita merapatkan barisan untuk Pak Jokowi agar bisa melanjutkan pekerjaan di periode kedua," kata Grace.

Tampil Muda

Tapi, PSI juga tidak berani memilih tidak masuk dalam koalisi demi kriteria muda. Bagi PSI, pilihannya melihat Jokowi melanjutkan pekerjaannya, meskipun "sekali lagi tidak ideal." Jokowi sebagai aktor yang lebih muda dalam pasangan itu, tampak berusaha menunjukkan jiwa mudanya. Paling tidak itu dapat dicermati dalam penampilannya di pembukaan Asian Games 2018.

Dalam layar visual ditampilkan, saat hendak mendatangi pembukaan Asian Games, Jokowi naik mobil kepresidenan dan dikawal berderet Paspampres. Namun di tengah jalan, beliau dihadang kemacetan. Untuk memecah kebuntuan itu, Jokowi turun dari mobil dan menaiki motor sport dengan skill layaknya pembalap profesional. Dengan gesit Jokowi nyelap-nyelip di tengah kemacetan supaya dapat sampai di acara pembukaan Asian Games tepat waktu.

Meskipun untuk aksi berbahaya di atas motor itu sebenarnya dilakukan oleh Stuntman, ketika ada anak-anak sekolah yang melintas, Jokowi menghentikan motornya, membuka helm, menampakkan wajah dan membantu anak-anak menyeberang. Video tersebut sungguh menunjukkan sikap seorang presiden yang amat rendah hati. Anak muda mana yang takkan tertarik.

Pasangan Prabowo mencoba peruntungannya dua kali pemilihan presiden. Pencalonan yang ketiga ini mungkin kesempatan terakhir bagi mantan Danjen Kopassus tersebut, mengingat usianya yang tidak memungkinkan lagi jika bertarung di Pilpres 2024.

Selain itu, Prabowo sosok yang dibayang-bayangi kasus pelanggaran HAM berat. Beberapa tuduhan menunjuk Prabowo turut serta dalam berbagai pelanggaran HAM terburuk di Indonesia saat menjabat perwira militer. Bahkan sejak Pilpres 2014 lalu, media internasional seperti New York Times telah menyorot isu ini (The New York Times, 26 Maret 2014: Indonesia Candidate Tied to Human Rights Abuses Stirs Unease).

Beberapa di antara kasus pelanggaran HAM itu pun yang menjadi utang politik Jokowi sepanjang hidupnya (dalam Nawacita Politik Jokowi untuk Presiden 2014-2019). Sementara itu, Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo, aktor paling mendekati rujukan usia pemilih muda.

Sandi pengusaha kondang. Pembicaraanya tak lepas dari memajukan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Itu sektor yang amat dikuasainya dan juga persoalan serius bagi kelompok usia muda yang kerap susah mencari pekerjaan. Sayangnya, mau tak mau, suka tak suka, Sandi akan mudah dicitrakan sebagai pemuda tanggung yang tidak tuntas melakukan sesuatu.

Sebab, Sandiaga Uno (bersama dengan Anies Baswedan) diberi mandat oleh warga Jakarta untuk memimpin Ibu Kota itu selama lima tahun. Tidak sedikit program kesejahteraan yang dijanjikan Sandi sebelum terpilih. Tetapi hanya 10 bulan menjabat, Sandi pergi. Jika janji itu utang, bagaimana dia mesti membayarnya?

Saya jadi ingat, tahun 2016 lalu, di sebuah acara TV, Sandi ikut berpartisipasi dalam stand up comedy club. Saat itu Sandi membocorkan kunci suksesnya yang dinamakan, "Etos Kerja 4-AS" yang perlu dicamkan baik-baik bagi generasi muda. Ini diambil dari kerja ker(as), kerja cerd(as), kerja tunt(as), dan kerja ikhl(as). Nah, jika perjuangan itu pelaksanaan kata-kata, bagaimana Sandi bisa dikatakan seorang pejuang muda?


Penulis Alumna Houston Community Collage, Texas

Komentar

Komentar
()

Top