Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 11 Nov 2023, 06:10 WIB

Benteng Kuto Besak, Bangunan Megah Karya Bangsa Sendiri

Foto: Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Palembang

Sungai Musi yang membelah Kota Palembang menjadi urat nadi perekonomian sejak dari Kerajaan Sriwijaya. Di sepanjang alirannya terdapat beberapa bangunan bersejarah yang jadi saksi peradaban di kota ini.

Salah satu bangunan bersejarah di aliran Sungai Musi adalah Benteng Kuto Besak. Benteng yang berada di Jalan Sultan Mahmud Badarudin, 19 Ilir, Bukit Kecil, Kota Palembang ini merupakan peninggalan Sultan Muhammad Bahaudin bin Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo. Ia adalah pemrakarsa pembangunan benteng ini.

Menurut bukuKhazanah Kota Palembangkarya Syarifuddin dkk, benteng itu dibangun mulai 1772 dan baru diresmikan pada 23 Februari 1790. Artinya perlu waktu 18 tahun bagi Kesultanan Palembang untuk menyelesaikan pembangunannya.

Bangunan benteng ini merupakan kelanjutan dari Keraton Palembang Darussalam yang berada di dekatnya. Tujuan pembangunan Benteng Kuto Besak adalah sebagai dinding pertahanan (bastion) Kerajaan Palembang Darussalam dari serangan musuh. Selain itu benteng juga dijadikan sebagai tempat pusat Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II yang berkuasa antara 1803-1821.

Nama Benteng Kuto Besak sendiri berasal dari katakutoyang artinya kota atau puri, sertabentengberarti bangunan pertahanan, danbesakberarti besar. Seperti namanya, bentuk bangunan cukup besar dan megah apalagi untuk ukuran waktu itu.

Benteng Kuto Besak memiliki tinggi sekitar 9,9 meter atau 30 kaki, dengan panjang 288,75 meter dan lebar 183,75 meter. Untuk mencegah dari serangan, dinding benteng memiliki ketebalan 1,99 meter.

Tidak mengarah tepat ke mata angin seperti barat atau ke timur, benteng ini berdiri mengarah ke arah tenggara. Sementara pintu gerbang Benteng Kuto Besak ada tiga. Pintu dibangun di bagian timur laut, barat laut, dan tenggara. Di sini juga dibangun beberapa celah di dindingnya untuk mengintai musuh. Celah ini semakin mengecil ke arah dalam.

Di keempat sudutnya, terdapat empat buluarti (bastion) untuk menempatkan meriam. Meriam yang terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun 1819 atau Perang Menteng yang berlangsung pada 12 Juni 1819 antara Kesultanan Palembang melawan penjajah Belanda, dan Perang Palembang II tahun 1819.

Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, Benteng Kuto Besak memiliki pintu empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak.

Bangunan benteng ini bahan bakunya terbuat dari batu bata yang direkatkan oleh bahan yang terbuat dari batu kapur. Bahan baku seperti ini tidak ada di sekitar itu. Untuk mendapatkannya, bahan baku tersebut didatangkan dari daerah pedalaman Sungai Ogan.

Dikelilingi Sungai

Sebagai keraton bagi raja, Benteng Kuto Besak dilengkapi dengan pelataran yang luas, balai agung, gerbang besar. Di dalamnya terdapat pula keputren, paseban, ruang tempat menerima tamu, tempat kediaman sultan dan permaisuri.

Di tengah keraton terdapat kolam dengan perahu, taman, dan pohon buah-buahan. Di antara Benteng Kuto Besak dan Leraton Lamo atau istana yang telah ada sebelumnya, terdapat jalan menuju masjid utama kerajaan.

Berbeda dengan letak keraton lama, istana baru ini berada pada tempat yang sangat terbuka, strategis, dan sekaligus sangat indah. Di depannya adalah Sungai Musi yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan masyarakat Sumatra Selatan.

Pada masa itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi pulau-pulau. Benteng Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara.

Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya. Oleh karenanya bagian dalam benteng tidak bisa diakses publik. Masyarakat hanya bisa melihat kemegahan banteng ini dari luar atau dari kawasan alun-alunya saja.

Namun kawasan terbuka di depan Benteng Kuto Besak sering dijadikan tempat upacara atau kegiatan pemerintahan hingga konser musik. Selain pelataran, di sekitar banteng terdapat banyak bangunan bersejarah yang menjadi tempat wisata, mulai dari Jembatan Ampera, Museum SMB II, Masjid Agung dan Sekanak yang dulu tempat tinggal bangsawan Kesultanan Palembang dan pusat perdagangan di masa kolonial Belanda.

Di bagian depan Benteng Kuto Besak terdapat alun-alun tempat masyarakat bisa berkumpul. Pemandangan pelataran yang ada berupa deretan pohon palem. Di tempat ini sering dijadikan untuk acara seni dan budaya salah satunya konser musik. Pada malam hari suasana menjadi lebih dramatis dengan adanya lampu warna-warni.

Dahulu pada saat masa penjajahan, benteng ini pernah dibakar oleh Belanda pada bulan Ramadan tahun 1236 Hijriah, tepatnya pada saat Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Pulau Ternate, Maluku Utara. Sejak 1 Juli 1821, benteng ini berhasil diduduki Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor Hendrik Merkus Baron de Kock.

Selanjutnya, benteng ini dipakai oleh Susuhunan Husin Dhiauddin (Sunan Mudo) bersama-sama dengan Belanda. Seiring berjalannya waktu, saat ini, Benteng Kuto Besak telah digunakan sebagai pusat pemerintahan Kota Palembang.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Benteng Kuto Besak sebagai salah satu cagar budaya Indonesia pada tanggal 3 Maret 2004 melalui surat keputusannya bernomor KM.09/PW.007/MKP/2004. Benteng Kuto Besak didaftarkan dengan nomor registrasi CB.678. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.