Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bencana dalam Kacamata Sastra Jadi Topik Diskusi "World Book Day"

Foto : dok istimewa

Sastrawan dan juga wartawan, Akmal Nasery Basral

A   A   A   Pengaturan Font

Bencana dalam Kacamata Sastra Jadi Topik Diskusi "Work Book Day"

Jakarta- Sastra bencana atau literature disaster menurut Akmal Nasery termasuk ke dalam genre karya sastra realisme, karya sastra yang berasal dari seuatu yang nyata, eksis dan ada di sekitar manusia. Menurut beliau, kisah-kisah tentang bencana merupakan kisah yang sudah biasa dikabarkan. Sehingga fungsi pertama sastra bencana yaitu sebagai sebuah kesaksian atau testimoni tentang sebuah peristiwa yang mengubah struktur kehidupan manusia yang diolah dengan estetika.

Fungsi lainnya yaitu sebagai pengingat manusia baik secara individual maupun kolektif tentang peristiwa yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya.

"Bencana yang diabadikan dalam bentuk sastrawi itu apakah dalam bentuk sajak, dalam bentuk prosa, dalam bentuk yang nonfiksi gitu ya, dikabarkan seperti itu, dia harus punya fungsi lain. Fungsi sebagai penyadaran umat manusia, kemudian pembelajaran di mana kita bisa mengambil pembelajaran dari sana," ujar Akmal dalam sebuah diskusidaring dalam peringatan hari Buku Internasional atau Work Book Day sebagaimana rilis yang diterima Koran Jakarta, Minggu (26/4)

Akmal Narsey Basral, sastrawan dan wartawan senior, menjadi pemateri diskusi daring #05 dalam peringatan World Book Day yang diadakan oleh Perkumpulan Literasi Indonesia. Tema yang dibahas dalam diskusi tersebut yaitu Sastra Bencana sebagai Katarsis di Era Pandemi. Diskusi yang dimoderatori oleh Pratiwi Retnaningdyah-salah satu dosen di Universitas Surabaya-berlangsung selama dua jam.

Dalam laporan yang disusun oleh Lupy Agustina Dewy, lebih lanjut Akmal mengatakan, menulis karya sastra, menurut Akmal Nasery atau lebih akrab dipanggil Uda Akmal bisa bersumber dari berbagai peristiwa yang ada di sekitar kita, termasuk dari kehidupan sehari.

Akmal mencontohkan tradisi sastra lisan yang menghasilkan folklore, "Misalnya oleh masyarakat di kawasan di pulau Simeuleu di Aceh, mereka tuh sudah tahu berdasarkan tradisi sastra lisan mereka, bahwa jika setelah satu gempa bumi tertentu dengan kekuatan tertentu itu akan ada bentuk-betnuk sastra lisan yang membuat mereka segera harus menyelamatkan diri atau melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi untuk meyelamatkan diri."

Dijelaskan Akmal, dalam sastra tulisan, salah satu contoh sastra bencana yang memukau yakni tentang ledakan Krakatau yang ditulis oleh Simon Wincester. Bencana letusan Gunung Krakatau yang ditulis oleh Simon Wincester, pembaca akan mendapatkan rekonstruksi kejadian yang membuat pembaca seolah-oleh tersedot ke dalam peristiwa yang sangat besar tersebut. Salah satu sastrawan Indonesia, HAMKA, menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van der Wijck sebagai latar dalam novelnya yang berjudul serupa. Contoh lain yang diungkapkan oleh Akmal yakni peristiwa tenggelamnya kapal Titanic yang menginspirasi banyak seniman.

Selanjutnya, Akmal mengelompokkan jenis bencana menjadi beberapa jenis yakni natural disaster yang berkaitan dengan bencana alam. Perihal ini, beliau telah menulis buku berjudul Teo Toriatte (Genggam Cinta). Cerita tersebut berawal dari cerpennya yang berjudul Swan of The Rising Sun yang diikut sertakan dalam lomba internasional dalam rangka memperingati dua tahun triple disaster di Fukusima. Jenis bencana yang lain yaitu bencana yang berkaitan dengan teknologi, misalya peristiwa bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Akmal juga mengategorikan peristiwa terorisme ke dalam bencana karena peristiwa tersebut pun menimbulkan perubahan struktur dalma kehidupan manusia.

Masyarakat Membangkang

Hal lain yang diungkapkan Akmal, yakni poin ketiga tentang pembangkangan masyarakat sipil terhadap aturan pemerintah berkenaan dengan pandemi menjadi poin paling menarik untuk ditindaklanjuti menjadi sebuah sastra bencana. Banyak sudut pandang yang bisa digunakan oleh penulis ketika akan mengangkat peristiwa tersebut menjadi sebuah cerita. Keunggulan lain, menurut Akmal, bahwa bencana merupakan peristiwa yang sarat dengan konflik sehingga bisa menjadi bahan yang kaya untuk si penulis.

Pertanyaan yang diajukan oleh sastrawan Eka Budianta, tentang apakah mengangkat bencana sebagai sebuah cerita merupakan hiburan atau keberanian, ditanggapi oleh Akmal dengan peristiwa yang dialaminya ketika ia menjadi seorang relawan dalam gempa Lombok (2018.0 Ia mengajak para korban gempa untuk menuangkan isi hati mereka atas bencana yang mereka alami ke dalam sebuah karya. Maka dari itu, karya, tanpa harus mengatakan hal itu sastra atau bukan, bisa menjadi media untuk menghadapi peristiwa yang dialami atau pun diamati oleh seseorang.

Wacana tentang angkatan Covid-19 pun sempat digulirkan oleh Eka, beliau menuturkan apakah terdapat kemungkinan bahwa karya-karya yang lahir dalam kurun waktu pandemi ini akan menjadi angkatan baru. Dalam hal ini, Akmal menuturkan bahwa diperlukan uji coba, mengingat angkatan sebelumnya yang dinamai cyber sastra ternyata karya-karyanya tidak cukup kokoh untuk bertahan seperti angkatan 45 atau 98.

Pada akhir diskusi, Pratiwi Retnaningdyah sebagai moderator mengungkapkan simpulannya mengenai karakteristik sastra bencana. Menurutnya, sastra bencana memuat cerita dengan detail yang menakutkan tentang bencana yang terjadi, tapi memunculkan kekuatan manusia menghadapi kondisi tersebut. Pratiwi juga mengungkapkan harapannya berkenaan dengan pembahasan sastra bencana yang dikaitkan dengan kondisi ini. sur/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top