Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Reformasi Struktural

Benahi Fundamental Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Negara

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - kj/ones
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Dampak Covid-19 terhadap tatanan sosial dan perekonomian nasional diperkirakan akan terasa hingga 2022 mendatang dengan asumsi semua warga negara sudah mendapat vaksin anti Covid-19. Dengan demikian, ekonomi baru mulai pulih pada sekitar 2023 setelah dunia usaha kembali berjalan normal, sehingga penerimaan pajak kembali normal sesuai target.

Agar pemulihan ekonomi tidak lemah, maka dari sekarang pemerintah seharusnya sudah mulai membenahi fundamental kebijakan ekonomi dan keuangan negara dengan memberi perhatian secara khusus pengelolaan utang yang sudah mencapai 5.500 triliun rupiah yang sudah tidak mungkin ditanggung terus oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena bunganya saja jumlahnya sudah besar.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri sudah mengajak masyarakat dan jajaran birokrat untuk membeli dan menggunakan produk dalam negeri untuk mendukung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), namun tidak tegas dinyatakan serta tidak ada sanksi, maka sepertinya tidak ada yang mendengarkan.

Ekonom Abdul Manap Pulungan kepada Koran Jakarta, Selasa (8/9), mengatakan masih tingginya konten impor yang dikandung produk industri dalam negeri yakni mencapai 70 persen, semakin menunjukkan ajakan Presiden itu masih dalam tataran wacana belaka, tanpa ada keinginan kuat mengimplementasikannya.

"Program penggunaan produk lokal itu sudah banyak diwacanakan, tapi tidak terlaksana, dengan kandungan impor industri kita 60-70 persen, maka produk buatan Indonesia relatif lebih mahal dan kurang kompetitif dibandingkan produk negara lain, karena kita harus mengimpor dulu bahan bakunya," kata Abdul Manap.

Padahal, pembangunan ekonomi tidak akan mungkin berjalan tanpa menggunakan produk nasional, terutama di masa pandemi Covid-19 saat ini. Presiden AS, Donald Trump, misalnya, bahkan mengancam perusahaan sekelas Apple kalau terus memproduksi Iphone di luar negaranya akan dikenakan bea masuk ke AS yang tinggi.

"Belilah produk nasional, kalau tidak mau beli bagaimana mau membangun," katanya.

Pengabaian pembelian produk lokal, jelasnya, akan berpengaruh pada meningkatnya pengangguran. Sebaliknya, dengan ada keharusan membeli produk nasional, maka uangnya akan terus berputar dalam negeri dan menghasilkan pajak berpuluh-puluh kali. Sedangkan kalau impor, pemerintah hanya mendapat pajak sekali. Masalahnya, pemerintah selama ini justru impor yang dijalankan.

Perlu Strategi

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan, mengatakan untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri, pemerintah perlu strategi agar pelaku usaha, khususnya UMKM, mampu memproduksi bahan baku penolong yang kontribusi impornya besar.

"Mungkin pemerintah saat ini jangan terlalu fokus pada jargon hilirisasi yang kurang relevan lagi di tengah maraknya global value chain dan global production network," kata Fajar.

Kalau ingin meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, harus dipastikan produk tersebut kompetitif. "Kalau perlu diberikan insentif usaha bagi penyedia bahan baku agar harganya kompetitif dengan kualitas yang sama dengan produk impor," kata Fajar.

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Mohamad D. Revindo, mengatakan hampir 90 persen impor Indonesia dalam bentuk bahan baku penolong dan barang modal. Hal itu berarti, industri domestik masih sangat bergantung impor. Barang impor tersebut terdiri dari bahan bakar, alat komunikasi dan komponennya, tepung, perhiasan, benang, gula industri, dan berbagai bahan lainnya.

Dengan besarnya komposisi impor terhadap produk industri dalam negeri, maka untuk mengatasi itu dengan substitusi impor, namun dalam praktiknya kerap sulit berjalan. Revindo mengusulkan agar menempuh kebijakan yang lebih berkelanjutan dan tidak merugikan produsen dan konsumen domestik yaitu memudahkan masuknya investasi untuk industri hulu, terutama yang berteknologi tinggi dan bersedia alih teknologi.

"Ini bisa dilakukan jika ada perbaikan iklim investasi, yang saat ini isunya adalah sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, ketenagakerjaan dan pengawasan impor ilegal," pungkas Revindo.

Pakar ekonomi lainnya, Andry Satrio Nugroho, mengatakan kebijakan penggunaan produk lokal harus melibatkan UMKM dengan mendorong produk mereka memiliki daya saing yang tinggi. "Tanpa memiliki daya saing yang tinggi, investor pastinya enggan untuk bermitra dengan UMKM," kata Andry.

Menguras Devisa

Dihubungi terpisah, pakar ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Munawar Ismail, mengatakan harus ada dukungan nyata terhadap industri subtitusi impor supaya kebergantungan negara terhadap impor yang menguras devisa berkurang.

"Harus ada dukungan nyata terhadap kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). TKDN ini memerlukan rangkaian rantai produksi yang terpadu yang bisa pemerintah dorong dengan memberikan insentif dan kemudahan," kata Munawar.

Guna mendapatkan hasil yang optimal perlu memprioritaskan substitusi impor yang volumenya besar dan jangka panjang. "Kalau tidak begini akan stagnan terus," ujar Munawar.

Sementara itu, Ekonom Centre of Reform on Economic Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan perlu kebijakan komprehensif untuk mendorong penggunaan produk lokal dibandingkan dengan impor. uyo/ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Djati Waluyo, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top