Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Strategi Pembangunan - Ketidakmakmuran Berpotensi Picu Gejolak Sosial

Bayar Utang Makin Susah, Fokus Bangun Sektor Produktif

Foto : ANTARA/Galih Pradipta
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kemampuan pemerintah membayar utang yang diragukan, seperti diungkapkan kalangan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, merupakan fakta yang harus segera dibenahi agar Indonesia tidak semakin terperosok ke dalam kubangan utang.


Untuk itu, kebijakan ekonomi Indonesia mesti fokus pada pembangunan sektor riil yang produktif dari sumberdaya manusia Indonesia sendiri dengan memanfaatkan konten lokal yang tertinggi, dan hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan nasional.


Pengamat ekonomi, Ahmad Ma'ruf, menegaskan pengelolaan fiskal selama ini dengan fenomena utang di atas utang ternyata telah menenggelamkan negara ke dalam utang yang lebih besar. Sebab, utang itu lebih banyak untuk menutupi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak produktif.


"Tak mungkin pemerintah menanggung utang swasta BLBI terus menerus. Selain itu, juga tidak adil karena bukan rakyat yang berutang, tapi disuruh membayar dari pajak setiap tahun," ujar dia, ketika dihubungi, Rabu (6/9).


Apalagi, imbuh dia, sudah terbukti jika utang BLBI itu merupakan kebijakan salah masa lalu yang merugikan negara hingga 3.000 triliun rupiah sampai saat ini, dan membuat Indonesia tertinggal dengan negara lain.


Seperti dikabarkan, kalangan anggota Banggar DPR meragukan kemampuan pemerintah untuk membayar kewajiban utang yang kini mencapai hampir 4.000 triliun rupiah,

mengingat sampai sekarang stok utang tidak pernah berkurang dan porsi pembayaran bunga utang dalam APBN terus meningkat tiap tahun. Di sisi lain, pemerintah kerap kali gagal mencapai target penerimaan negara.


"Jadi persoalan utang itu harus kita cermati, waspadai dan penuh kehati-hatian. Harapannya, ke depan utang semakin berkurang," kata anggota Banggar DPR, Sukamta.


Ma'ruf menambahkan dulu pemerintah beranggapan pertumbuhan ekonomi bisa menutup utang namun faktanya pertumbuhan itu tidak mampu mengejar pertumbuhan utang.


Alokasi anggaran baru setiap tahun habis hanya untuk menutup kewajiban utang lama, mengambil porsi dari biaya belanja pembangunan yang produktif. Secara langsung, kondisi seperti itu mematikan kegiatan ekonomi yang sumbernya dari pajak negara.


Ibaratnya, menurut dia, mematikan ayam sehingga tidak dapat telurnya. Ini jelas berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat.

Pendapatan per kapita riil dari tahun ke tahun selalu turun, dibandingkan negara tetangga yang pendapatan per kapitanya terus naik. "Apalagi belanja negara salah arah ke sektor konsumtif yang mayoritas bersumber dari impor," ungkap ekonom dari UMY itu.


Oleh karena itu, lanjut Ma'ruf, harus ada perubahan kebijakan yang fundamental dengan fokus membangun sektor produktif. Apabila Indonesia tidak mulai membangun sektor riil dari produksi nasional sebagai substitusi impor maka devisa negara tidak akan aman.

"Setelah itu, baru kita target memacu ekspor. Ini bisa terjadi kalau ekonomi kita diperbaiki. Produksi hasil rakyat Indonesia untuk konsumsi rakyat Indonesia," papar dia.


Ma'ruf juga mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak membohongi diri sendiri. "Jangan impor gandum lalu dibikin mi instan tapi dibilang produk dalam negeri.

Kita harus bangun semaksimal mungkin dengan daya sendiri kalau tidak mau tertinggal. Ini harus menjadi tekad seluruh bangsa."


Menurut dia, inilah pengamalan Pancasila yang nyata bukan hanya sebagai simbol. Simbol tidak bisa bertahan, ideologi tidak berguna kalau tidak nyata. "Kalau rakyat tidak makmur atau dimiskinkan pasti terjadi perpecahan sosial dan politik."


Peran KPK


Terkait penanganan kasus BLBI, pengamat hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh membiarkan adanya dugaan korupsi pada kasus BLBI berlalu begitu saja.

Sebagai lembaga hukum yang banyak melakukan gebrakan, KPK dituntut mengusut tuntas kasus yang telah menyebabkan perekonomian negara terpuruk.


"KPK tidak bisa lagi berperang melalui OTT (operasi tangkap tangan) tapi membiarkan kasus BLBI yang merugikan rakyat terbesar. KPK bisa kehilangan dukungan rakyat," ujar dia.


Menurut Suparto, sumber berlarut-larutnya permasalahan bangsa sehingga perekonomian jadi tersendat seperti sekarang adalah terjadinya ketidakadilan penegakan hukum.

Oleh karena itu, kalau sudah ada lembaga seperti KPK tapi tidak berani berbuat lebih pada kasus BLBI, sama saja negara ini tidak ada marwahnya.


"Rakyat semakin jauh dari kemakmuran sementara yang menikmati uang negara hanya segelintir orang, mereka berkeliaran bebas dan lari ke luar negeri. KPK harus sadar tanggung jawab yang dipikul, menyelamatkan kerugian negara terbesar yang masih tejadi," tukas dia. YK/SB/ahm/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top