Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Baru Lulus dari Akmil, Perwira Muda Kopassus Itu Langsung Terjun ke Pertempuran Pimpin Prajurit Senior

Foto : Agus Supriyatna

Sintong Panjaitan

A   A   A   Pengaturan Font

Baru lulus dari Akademi Militer (Akmil), perwira muda Kopassus ini langsung terjun ke pertempuran pimpin prajurit senior. Begitulah yang dialami Sintong Panjaitan. Terakhir Sintong Panjaitan pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal (Letjen) atau jenderal bintang tiga.

Seperti dikutip dari buku," Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando," yang ditulis Hendro Subroto, begitu lulus dari Akademi Militer yang ketika itu masih bernama Akademi Militer Nasional (AMN), Sintong langsung diterjunkan ke medan pertempuran sebenarnya. Ia dikirim ke medan pertempuran di belantara Sulawesi untuk ikut menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar di sana. Sintong sendiri merupakan lulusan AMN tahun 1963.

Dalam buku tersebut, Sintong Panjaitan banyak menceritakan pengalamannya saat diterjunkan dalam operasi militer menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Menurut Sintong, pada pertengahan bulan Agustus 1964, sebanyak 15 orang di antara 120 orang perwira remaja alumni AMN Angkatan 1963, ditugaskan di Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk memperoleh pengalaman tempur.

Para perwira muda lulusan AMN yang dikirimkan ke Sulawesi itu, kata Sintong, selain dirinya, adalah Letda Abdulrachman, dan Letda Iding Suwardi. Ketiga perwira muda AMN di bawah perintahkan (B/P) pada Batalyon Infanteri 321/Galuh Taruna Brigade Infanteri 13/Galuh Kodam VI/Siliwangi yang sedang melakukan Operasi Kilat untuk menumpas pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Dua batalyon Brigif-13/Galuh lainnya yakni Yonif 332/Buaya Putih dan Yonif 303/Setia Perlaya dioperasikan di sisi barat kaki Gunung Latimojong. Menurut Sintong, empat kompi dalam Yonif 321 merupakan pasukan infanteri biasa yang tidak memiliki kualifikasi para. Brigif 13/Galuh sendiri merupakan brigade pertama yang dikirim oleh Brigjen TNI Ibrahim Adji, Panglima Kodam Siliwangi, untuk melaksanakan operasi di Sulawesi Selatan.

Dua brigade Kodam Siliwangi lainnya, yaitu Brigif 11 dan Brigif 12 menyusul kemudian. Pada waktu, kata Sintong, ia ditempatkan di Yonif 321. Pasukan Brigif 13 itu sendiri telah beroperasi hampir selama satu tahun di Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 16 Agustus 1964, Sintong tiba di medan tugas. Ia pun segera melaporkan kedatangannya kepada Komandan Yonif 321/Galuh Taruna Mayor Mochtar. Malam harinya usai Sintong melapor, pemberontak melancarkan serangan ke markas batalyon yang mengakibatkan seorang anggota Yonif 321 gugur. Ketika serangan itu terjadi, Sintong ditempatkan di sebuah barak militer yang bersebelahan dengan markas kelompok batalyon di pinggir kota kecil bernama Barakka yang diserang.

"Serangan yang terjadi pada malam pertama kedatangan Sintong di daerah operasi, seolah-olah memberikan gambaran baginya betapa gawat tugas yang akan dihadapi nanti," tulis Hendro Subroto dalam buku," Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando."

Dalam buku, "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando," Sintong juga bercerita, awalnya ia ditugaskan sebagai Pendamping Komandan Peleton 1 yang dijabat oleh Pembantu Letnan Satu (Peltu) Djamaluddin Loebis pada Kompi Senapan A di bawah pimpinan Letnan Satu Hanafie sebagai komandan kompi.

Kesempatan terjun langsung ke medan tempur sebenarnya pun dimanfaatkan oleh Sintong untuk mempelajari seluk-beluk peleton infanteri di daerah operasi yang para anggotanya tidak dapat disamakan dengan peleton taruna pada masa di AMN. Peleton pasukan dimana Sintong ditempatkan anggotanya adalah para prajurit yang kenyang dengan berbagai pertempuran. Para tamtama dan bintara di peleton 1 infanteri itu telah memiliki pengalaman dan prestasi dalam berbagai operasi tempur.

Selain itu, Sintong juga belajar mengenal sifat-sifat anggota peleton di daerah operasi. Kemudian kurang dari satu bulan, Sintong diangkat menjadi Komandan Peleton 1. Ia jadi Danton 1 menggantikan Peltu Tobing. Demikian juga Letda Abdulrachman dan Letda Iding Suwardi, teman seangkatan di AMN masing-masing diangkat menjadi Komandan Peleton 2 dan Komandan Peleton 3 pada Kompi Senapan A.

Ketika itu, Letda Sintong masih bisa dikatakan Perwira remaja. Usianya ketika itu 24 tahun. Belum memiliki pengalaman tempur sama sekali. Tapi ia ditugaskan untuk jadi Komandan Peleton 1 yang para anggotanya sebagian besar telah kenyang makan asam-garamnya pertempuran.

Tiga orang komandan regu di bawah pimpinan Sintong, yakni Sersan Omoh, Sersan Suwardi, dan Sersan Rachmad adalah para bintara yang telah banyak memiliki pengalaman tempur panjang. Begitu juga para anggota lainnya di peleton Sintong telah berpengalaman dalam operasi penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera. Mereka juga pernah terlibat dalam perjuangan Trikora' untuk pembebasan Irian Barat. Bahkan ada pula anggota pasukan Sintong yang berasal dari pejuang Angkatan 45.

"Walaupun demikian Sintong dapat menunjukkan kemampuannya sebagai seorang komandan dalam memimpin pertempuran di daerah operasi yang menjadi tanggung jawabnya," tulis Hendro Subroto dalam buku," Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando."

Peleton 1 di bawah pimpinan Sintong, ditempatkan di ujung timur Talangrilau. Talangrilau sendiri merupakan medan pegunungan yang terletak di tengah-tengah daerah yang dikuasai oleh pemberontak di bawah pimpinan Sjamsuddin, seorang pemberontak kepercayaan Kahar Muzakkar. Biasanya pasukan infanteri yang melaksanakan operasi antigerilya, memerlukan penduduk untuk mendukung kelancaran operasi. Namun, daerah Talangrilau yang menjadi daerah operasi Sintong, sama sekali tidak berpenduduk. Jarak terdekat antara Peleton 1 dan Peleton 2 sekitar enam jam berjalan kaki. Peleton 1, merupakan peleton yang paling banyak terlibat dalam pertempuran, karena posisi mereka berada di basis pemberontak.

"Pemberontak berkeinginan keras mengusir Peleton 1 pimpinan Sintong dari Talangrilau, karena keberadaan mereka sangat menggangu perembesan pemberontak dari daerah pegunungan ke dataran rendah yang subur sebagai sumber logistik," tulis Hendro Subroto dalam bukunya.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top