Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Pemerintah

Bapanas Ingatkan Bengkulu Masih Ada 27 Kecamatan yang Rentan Pangan

Foto : ANTARA/BOYKE LEDY WATRA

Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama Pemerintah Provinsi Bengkulu menyalurkan paket bantuan pangan nonberas untuk masyarakat penerima di Bengkulu, Kamis (26/10).

A   A   A   Pengaturan Font

BENGKULU - Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengingatkan Provinsi Bengkulu yang saat ini masih memiliki 27 kecamatan masuk dalam kategori rentan pangan.

"Di Provinsi Bengkulu, jumlah kecamatan yang rentan pangan itu masih ada 27 kecamatan, sedangkan angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (PoU) di Provinsi Bengkulu sebesar 11,6 persen," kata Deputi bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas (NFA), Nyoto Suwignyo, di Bengkulu, Kamis (26/10).

Seperti dikutip dari Antara, angka PoU untuk Provinsi Bengkulu itu masih berada di atas rata-rata nasional, dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak agar bisa turun ke level yang lebih rendah atau setidaknya berada pada angka rata-rata nasional.

"Perlu diturunkan pada tingkat yang pas, (untuk angka ini) ditargetkan oleh RPJMN pada 5 persen. Kalau masih 11,6 persen ini masih di atas rata-rata nasional. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya yang serius untuk pengentasan kerawanan pangan dan gizi," kata Nyoto.

Nyoto juga menjelaskan pentingnya membangun kolaborasi keserasian hubungan pusat dan daerah, keserasian komunikasi dan konsolidasi daerah dalam menghadapi situasi apa pun termasuk ancaman kondisi, potensi, dan dampak krisis pangan.

Menurut dia, kerawanan pangan bukan permasalahan daerah atau Indonesia saja. Krisis pangan belakangan ini menjadi permasalahan dunia, bahkan sudah ada 22 negara di dunia mengalami krisis pangan.

Harus Diantisipasi

Hal itu disebabkan oleh kondisi global, krisis keuangan, energi, situasi geopolitik, ketidakstabilan stabilitas keamanan dunia. Persoalan cuaca dan koflik yang terjadi di sejumlah negara berdampak pada produksi pertanian, harga dan kecukupan komoditas, dan hal tersebut tentu juga perlu diantisipasi daerah-daerah di Indonesia.

"Sudah diingatkan oleh FAO, hati-hati, 22 negara itu sudah dalam situasi mengalami titik kelaparan, kita bersyukur Indonesia tidak mengalami itu," ucap Nyoto.

Namun, menurut dia, tidak mengalami situasi kelaparan bukan pula membuat daerah abai dalam mempersiapkan diri mengantisipasi atau menyiapkan langkah kesiapsiagaan penanggulangan agar tidak terjadi krisis pangan.

"Makanya, butuh kesiapsiagaan terhadap kondisi yang kemungkinan yang berdampak terhadap kekurangan kebutuhan atau ketersediaan pangan," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia, seperti diramalkan organisasi pangan dunia (FAO) terjadi pada 2050.

Dwikorita dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, mengatakan kondisi ini sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization di akhir tahun 2022 yang lalu, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 negara di seluruh dunia.

Organisasi pangan dunia FAO, kata Dwikorita, juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.

Diprediksi oleh FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Situasi ini, tambah Dwikorita, akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang.

"Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air," ungkap Dwikorita.

Ia memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karena itu, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.

Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top