Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesejahteraan Penduduk I Bantuan Pangan Hanya Perpanjang Daya Tahan dari Kelaparan

Bantuan Pangan Tidak Bisa Kurangi Kemiskinan

Foto : ANTARA /Anis Efizudin

TImbulkan ketergantungan I Sejumlah warga membawa beras dalam karung dan paket sembako saat penyerahan Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) 2024 di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Program bantuan pangan dinilai tidak bisa menurunkan angka kemiskinan dan malah dapat menimbulkan ketergantungan dan problem sosial.

A   A   A   Pengaturan Font

» Program subtitusi impor pertanian sangat membantu mengangkat perekonomian desa yang selama ini jadi basis kemiskinan.

» Standar pengukuran garis kemiskinannya juga terlalu rendah, semestinya lebih komperehensif

JAKARTA - Pernyataan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, yang mengeklaim program bantuan pangan beras 10 kilogram (kg) kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) di seluruh Indonesia telah berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan, dinilai kurang tepat.

Menurut Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, program bantuan beras hanya bersifat meringankan dalam jangka pendek sehingga terlalu sederhana jika diklaim dapat mengurangi kemiskinan.

"Bantuan semacam itu hanya bersifat sementara dan bermanfaat dalam jangka pendek, tapi untuk jangka panjang tidak akan bisa menyelesaikan secara tuntas kemiskinan, justru melahirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya," kata Bagong.

Bantuan pangan, jelasnya, hanya memperpanjang daya tahan, tapi kalau untuk menurunkan angka kemiskinan masih banyak faktor lain yang harus diperhatikan, seperti tingkat inflasi, indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang harus selalu berada di atas 100, besaran upah riil buruh, dan sebagainya. Untuk kelompok menengah ke bawah di perdesaan, yang mereka perlukan adalah kebijakan yang mendasar dan berdimensi kerakyatan.

"Kebijakan dan program penguatan pertanian desa dapat menjadi ruang bagi mereka, tentunya tetap harus dilindungi dari produk impor. Program semacam subtitusi impor pertanian akan sangat membantu mengangkat perekonomian desa yang selama ini menjadi basis kemiskinan," kata Bagong.

Pakar sosilogi yang juga pengamat perdesaan dari Universitas Brawijaya, Malang, Imron Rozuli, pada kesempatan lain mengatakan klaim tersebut terlalu terburu-buru karena kemiskinan yang dialami masyarakat tetap berlangsung.

"Bantuan pangan sejatinya tidak memiliki ekses dalam pengurangan kemiskinan. Logika sederhana itu memang mengurangi biaya pengeluaran kebutuhan pangan bagi warga miskin. Jadi, bantuan beras hanya bicara pemenuhan pokok pangan, sementara kemiskinan yang dialami terus berlangsung. Artinya, klaim itu terbantahkan dengan memahami kondisi yang dialami keluarga miskin atau KPM," kata Imron.

Justru, bantuan malah menimbulkan ketergantungan dan problem sosial yang rentan konflik diametral di masyarakat. Sebab, antara data KPM dan kondisi di lapangan bisa sangat berbeda. Pada kondisi yang miskin ekstrem dan kelompok miskin di atas ekstrem atau rentan tentu perlu dibedakan.

"Jadi, klaim menurunkan angka kemiskinan masih sangat sumir dan tidak berdasar pada realitas yang dialami," tutur Imron.

Kekuatan Anggaran

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan kalau Bapanas mengeklaim penurunan tingkat kemiskinan disumbang oleh penyaluran bantuan pangan/bansos, artinya masyarakat sangat bergantung kepada bansos.

"Itu berarti selama ada bansos atau bantuan pangan maka tingkat kemiskinan itu turun, tetapi apabila tidak ada bansos maka kemiskinan itu kembali meningkat," tegas Dwi.

Jika demikian, terang Dwi, maka penurunan kemiskinan kembali kepada kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Sejauh mana APBN kita kuat. Apakah APBN kita mampu menyalurkan bansos/bantuan pangan sepanjang tahun dengan nilai fantastis demi menekan angka kemiskinan tadi," kata Andreas.

Selain sangat bergantung pada anggaran, jika pemerintah terus menggunakan model pendekatan bantuan dalam menekan angka kemiskinan, maka cara tersebut tentu tidak produktif, baik dari sisi anggaran maupun juga dari sisi pemberdayaan masyarakat.

Hal yang perlu dicermati lagi, papar Dwi, adalah jumlah rumah tangga petani itu meningkat dua juta lebih pada periode 2019-2024. Hal itu linear dengan jumlah kesempatan kerja yang hilang di sektor formal.

"Banyak pekerja formal kita yang jadinya tidak bekerja dan jumlahnya sekitar dua juta lebih dan mereka menjadi petani. Ini yang menambah beban di sektor pertanian, sementara di sisi lain jumlah usaha tani itu menurun," paparnya.

Dari data itu bisa dikatakan, pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja di sektor industri. Akibatnya, rumah tangga petani yang bertambah inilah yang menurut Dwi banyak menikmati bansos/bantuan yang dibagikan. Padahal jika pemerintah ingin mengurangi beban sektor pertanian maka yang harus dilakukan ialah dengan memperbanyak kesempatan kerja.

"Pemerintah harus memperbanyak pekerja formal atau kelas menengah. Caranya dengan perbanyak investasi. Jangan ada lagi kabar ada industri yang tutup, sebab jika pekerja formal ini kembali menjadi petani maka itu menciptakan pemiskinan baru di sektor pertanian," tegas Dwi.

Dari Yogyakarta, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan bisa dikatakan bahwa penurunan tingkat kemiskinan akibat bansos atau bantuan pangan itu adalah semu. "Iya, bisa dikatakan ini penurunan semu karena kalau ada krisis dan gejolak harga, bisa rentan naik lagi tingkat kemiskinannya," paparnya.

Apalagi, standar pengukuran garis kemiskinannya juga terlalu rendah, semestinya lebih komperehensif. Menurut Awan, soal bantuan pangan/bansos hanya jaring pengaman temporer saja yang dapat meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat miskin.

Artinya, harus ada kebijakan yang bisa membuat penurunan angka kemiskinan berlangsung lama, karena bansos disalurkan selama APBN kuat saja. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih sistematis dan struktural yang membuat penurunan angka kemiskinan berlangsung lama," tegasnya.

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengatakan penurunan angka kemiskinan itu mengacu ke data Badan Pusat Statistik pada Juli 2024 yang mencatat bersama program bantuan sosial lainnya, program bantuan pangan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di mana persentase penduduk miskin pada Maret 2024 tercatat sebesar 9,03 persen, turun 0,33 persen poin terhadap Maret 2023, dan menurun 0,54 persen poin terhadap September 2022.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top