Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Bangun Papua dengan Hati

Foto : ANTARA/Yashinta Difa

Tangkapan layar diplomat yang bertugas di PTRI New York, Silvany Austin Pasaribu, mewakili Indonesia saat menyampaikan hak jawab di Sidang Umum PBB, Sabtu (26/9/2020).

A   A   A   Pengaturan Font

Perrsoalan Papua seolah tak kunjung usai. Sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang hasilnya Rakyat Papua memilih berintegrasi dengan Indonesia, sudah tidak bisa dihitung berapa kali konflik muncul. Rakyat Papua biasanya memprotes ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pusat, baik yang berada di tanah Papua ataupun di perantauan.

Kita semua tentu masih ingat peristiwa pertengahan Agustus tahun lalu, secara bersamaan rakyat Papua di beberapa kota di Indonesia demonstrasi mengutuk perlakuan diskriminatif terhadap warga Papua di Surabaya. Kerusuhan besar terjadi di Sorong dan Manokwari.

Mereka tidak terima Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dikepung dan diserbu oleh aparat dan beberapa organisasi massa yang meneriakkan kata-kata berbau rasial. Mereka dituduh merobohkan bendera Merah Putih yang dipasang dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di depan asrama mereka.

Dan puncaknya, demo di depan Istana Merdeka pada 22 Agustus 2019. Sambil mengibarkan bendera bintang kejora, yaitu bendera yang digunakan untuk wilayah Nugini Belanda ketika tanah Papua berada di bawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, mereka menuntut keadilan diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap orang Papua.

Dan untungnya pemerintah tanggap. Gubernur Jawa Timur sudah minta maaf atas peristiwa di Asrama Papua di Surabaya. Presiden Jokowi menerima perwakilan masyarakat Papua di istana. Persoalan bisa segera diatasi. Kalau tidak, dikhawatirkan akan digunakan "penumpang gelap" untuk menjalankan misinya, memerdekakan Papua.

Lama tidak terdengar lagi kabar berita tentang Papua, tiba-tiba saja dalam Sidang Majelis Umum PBB, pekan lalu, Perdana Menteri salah satu negara di Pasifik, Vanuatu, Bob Loughman, mengungkit isu pelanggaran HAM di Papua. Melalui Perwakilan Diplomatnya, Silvany Austin Pasaribu, Indonesia menggunakan hak jawabnya dengan mengatakan bahwa tuduhan itu sebagai hal yang memalukan bagi Vanuatu dan meminta negara tersebut tidak ikut campur urusan dalam negeri Indonesia.

Masalah Papua akan tetap menjadi komoditas menarik bagi pihak-pihak yang tidak menginginkan Papua berada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar masalah Papua tidak menjadi agenda tahunan dan seperti kaset yang diputar tiap tahun, pemerintah harus menyelesaikan beberapa masalah mendasar yang menjadi sumber konflik di Papua.

Pertama, diskriminasi. Itu salah satu masalah dasar dan buktinya kejadian di Surabaya. Kedua, pelanggaran HAM. Selalu berulang sejak zaman Orde Baru. Ketiga, kegagalan pembangunan. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan kondisi kemiskinan yang semakin tinggi di wilayah yang mayoritas masyarakatnya orang asli Papua. Sungguh ironi karena Otoritas Khusus sudah hampir 20 tahun, tapi kok tidak ada perubahan.

Selain itu, perlu ada solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Salah satu solusi jangka pendek adalah dialog dengan pendekatan hati. Mereka butuh kehadiran negara dan pemerintah yang menyentuh hati mereka sebagai sesama anak bangsa.

Jangka menengah, memberi kesempatan lebih luas lagi kepada putra-putri terbaik Papua menduduki posisi penting, baik di pemerintahan, BUMN, dan di perusahaan swasta. Di Freeport yang 51 persen sahamnya sudah dikuasai pemerintah, beri kesempatan mereka menduduki salah satu posisi direksi.

Dan dalam jangka panjang, Otsus Papua harus disempurnakan dan diperkuat. Dana yang sudah digelontorkan sejak Otsus bergulir sudah sekitar 115 trilun rupiah, tapi belum tampak meningkatnya kesejahteraan di Papua. Ini bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat yang berada di posisi kedua dan pertama terendah nasional.

Masalah Papua adalah masalah dalam negeri Indonesia. Tidak ada negara yang boleh ikut campur tangan, kecuali Indonesia sendiri. Papua saat ini sudah tidak berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya. Pembangunan sudah semakin maju. Jika tidak ada pandemi Covid, sejarah besar sudah terjadi. Papua akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON). Kita harus bersabar menunggu peristiwa besar itu di 2021. ν

Komentar

Komentar
()

Top