Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
International Day of the Girl Child

Bangun Kesetaraan Gender melalui Peran Anak Perempuan

Foto : dok. Yayasan Plan International Indonesia

Osin (tengah) asal Lembata, Nusa Tenggara Timur, ketika berperan sebagai Menteri Koordinator (Menko) Maritim

A   A   A   Pengaturan Font

Hari Anak Perempuan Internasional atau International Day of the Girl Child (IDG) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 11 Oktober 2012, selalu diperingati oleh lebih dari 70 negara, tak terkecuali Indonesia.

Kejahatan terhadap perempuan, begitu juga dengan anak perempuan sangat kompleks, seperti tidak ada celah untuk menutup lajur kejahatan yang akan menghampirinya. Bahkan sekelas ruang keluarga, atau ranah digital pun menjadi corong bagimana upaya penjahat untuk mengintimidasi, mengekploitasi dan mendeskreditkan peran wanita, di era modern yang memegang teguh prinsip kesetaraan gender.

Secara global menurut laporan Ending Violence in Childhood: Global Report 2017 yang diterbitkan Know Violence in Childhood, kelompok advokasi internasional, menemukan kekerasan pada anak hampir universal dan berdampak pada 1,7 miliar anak-anak selama satu tahun. Kekerasan yang dimaksud rata- rata berbentuk bullying, perkelahian, pelecehan seksual, hukuman fisik di rumah atau sekolah, hingga kekerasan seksual.

Sedangkan di Indonesia, menurut laporan tahunan Komnas Perempuan, pada 2017 angka kekerasan terhadap anak perempuan melonjak tinggi dari 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus dari 1.799 kasus di tahun sebelumnya. Menariknya dari kasus kekerasan terhadap anak perempuan muncul kasus incest, atau seks dengan keluarga kandung, dari kasus kekerasan itu menurut laporan Komnas Perempuan, ada sekitar 1.200 kasus incest yang terlaporkan.

Kekerasan pada anak perempuan yang kini disoroti ialah pada ruang publik, menurut hasil polling Yayasan Plan International Indonesia (PII) bekerja sama dengan U Report, menemukan transportasi dinilai sebagai fasilitas publik yang paling tidak aman di Indonesia.

"Hal ini sejalan dengan riset IDG 2018 yang mengangkat tema 'Kota Aman untuk Anak Perempuan' yang juga mengungkapkan hal demikian. Ruang publik dan fasilitas umum masih belum sepenuhnya memenuhi hak anak, terutama anak perempuan. Di Indonesia khususnya pada transportasi publik dalam polling kami menjadi tempat tidak aman bagi anak perempuan, sedangkan institusi pendidikan menjadi tempat aman untuk mereka," terang Dwi Yuliawati, Programme Director PII kepada Koran Jakrta, di sela kampanye 'Girls Get Equal' di Jakarta belum lama ini.

Dalam polling PII dan U Report itu terungkap bagaimana tersiksanya anak perempuan di ruang public. Dwi menceritakan berbagai tindak pelecehan banyak dialami, bahkan disaksikan langsung oleh anak perempuan. "Entah itu berbentuk verbal atau tindakan seksual di ruang publik. Nah, yang menarik ternyata tindakan kekerasan verbal kepada anak perempuan sangat membekas, misal tindakan sederhana bersiul dengan maksud menggoda perempuan. Kegiatan itu seperti mendarah daging dan dianggap umum. Tapi ternyata perilaku pelecehan itu sangat membekas pada anak perempuan," terangnya.

Memperbaiki "Mindset"

Jika dipertanyakan, siapa yang bertanggung jawab soal kenyamanan anak perempuan di ruang publiK? Dwi melihat ini tidak seutuhnya persoalan yang mesti di selesaikan pemerintah, tapi lebih baik perlu melibatkan semua elemen, termasuk masyarakat sendiri.

Sebagian besar ranah kenyamanan, kesejahteraan ataupun keamanan lingkungan anak perempuan itu ada di mindset masyarakat. "Norma 'sesat' yang hidup di masyarakat lah yang paling utama harus kita perangi, seperti kebiasaan anak atau perempuan dewasa disiulin, anak perempuan tidak masalah dipegang-pegang misalnya, itu masalah sebenarnya, entah untuk alasan apapun itu," terangnya.

Norma sesat itu, yang pada akhirnya menjadi pijakan masyarakat untuk terus melakukan hal demikian, dan benar saja tindakan mensiul sudah terjadi sejak dulu, dan mungkin tidak banyak orang yang tahu, khususnya laki-laki bahwa itu tindakan pelecehan terhadap wanita.

Kemudian dari sisi budaya juga demikian, budaya kerap dijadikan senjata untuk melancarkan kejahatan terhadap anak perempuan. Misal tradisi merarik, milik masyarakat Suku Sasak, Lombok di NTB, sebenarnya tradisi kawin lari itu dilakukan apabila kedua pasangan telah siap menikah. Tetapi bila disalahartikan, kebudayaan yang positif itu akhirnya jadi disalahgunakan.

"Yang disalahkan malah budayanya padahal ini lebih karena tidak ada penjelasan soal budaya ini kepada anak muda. Mereka perlu diedukasi soal hak-haknya sebagai anak, dan risiko saat mereka ingin melakukan tindakan sesuatu di ruang sosial," jelasnya.

Untuk merespon hal itu, sebelumnya PII telah mengelar program pelatihan life skill di kawasan NTT, kegiatan itu dimaksudkan untuk memberikan pembekalan terhadap anak perempuan soal tindakan dan akibat setelahnya.

"Seperti setelah wanita menstruasi itu apa dampak setelahnya, apabila terjadi hamil di luar nikah apa akibatnya, dan juga mengajarkan bagaimana memilih teman yang baik dan menjalin pertemanan yang sehat. Program itu berjalan di tiga kabupaten, di NTT," jelas Dwi.

Hasil dari program itu, anak-anak menjadi lebih siap menjalankan kehidupan di lingkungan sosialnya, dan ternyata ini juga berimbas pada orang tuanya pula.

Sehari Berperan sebagai Pemimpin

Sementara itu, memanfaatkan momentum IDG 2018 Yayasan PII juga menggelar program 'Sehari Jadi Pemimpin' pada pertengahan Oktober ini. 12 anak perempuan berusia 15-17 tahun mengambil alih posisi sejumlah pemimpin di berbagai institusi pemerintahan, BUMN, hingga lembaga internasional. Mereka terpilih setelah diseleksi melalui kompetisi video blog dengan tema Ciptakan Kota Aman untuk Anak Perempuan. Program global di 70 negara tersebut merupakan yang kali ketiga diselenggarakan di Indonesia.

Berbagai peran pemimpin yang diambil alih antara lain Menko Kemaritiman, Komisaris PT Kereta Api Indonesia, Sekjen Kemenkominfo, Direktur Tindak Pidana Siber, sejumlah posisi di Polres Jakarta Pusat, hingga peran di lembaga kemanusiaan nasional dan internasional, sebagai Deputy Country Representative dan Program Analyst For Youth Development and ASRH United Nation Population Fund (UNFPA), serta Direktur Eksekutif dan Direktur Program Yayasan PII.

Direktur Eksekutif Yayasan PII, Dini Widiastuti, menceritakan harapan dari kegiatan ini ialah dapat mengajak semua pihak untuk bersama-sama memberikan kesempatan dan kesetaraan untuk anak-anak perempuan. "Sudah saatnya anak-anak perempuan menjadi bagian di tiap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik. Hal ini juga merujuk pada hasil riset kami serta badan dunia lain yang menggambarkan kurang diperhatikannya kebutuhan anak-anak perempuan di wilayah publik," jelas Dini.

Dalam keterangannya Menko Maritim Luhut B. Panjaitan mengapresiasi dan mengungkapkan kebanggaannya kepada anak-anak yang mengikuti kegiatan ini.

"Tugas kita semua adalah memberikan kesempatan dan kesetaraan untuk anak-anak perempuan agar bisa maju sehingga mereka bisa terlibat dalam perubahan," tandasnya.

ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top