Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Importir Jangan Dibiarkan Hancurkan Ketahanan Pangan

Badan Pangan Harus Hentikan Impor yang Membunuh Petani

Foto : KJ/WAHYU AP
A   A   A   Pengaturan Font

» Saat musim panen, komoditas impor masuk untuk menghancurkan harga produksi petani.

» Pemerintah masih banyak terpengaruh oleh bisikan serta lobi-lobi para pemburu rente.

JAKARTA - Setelah terbentuk beberapa waktu lalu, Badan Pangan Nasional diharapkan segera aktif membenahi masalah tata kelola pangan, terutama menghentikan impor yang membunuh petani.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pandangannya, Selasa (28/9), mengatakan Badan Pangan sudah terbentuk melalui Peraturan Presiden baru-baru ini. Sebab itu, harus segera menjalankan tugas dengan mengatasi para mafia impor pangan.

"Ini terus berulang, saat musim panen malah komoditas impor masuk untuk menghancurkan harga produksi petani. Sekarang, jangan ditunda lagi, aktifkan Badan Pangan agar impor-impor yang membunuh petani ini bisa segera ditindak," kata Dwijono.

Masalah ketahanan pangan dalam negeri, jelas Dwijono, dari dulu dihancurkan oleh semena-menanya para pencari rente dari bisnis impor pangan. Akibatnya, petani sebagai soko guru pangan nasional dipaksa untuk terus merugi. Pada gilirannya, regenerasi petani mandek dan ketahanan apalagi kedaulatan pangan nasional terus tergerus.

"Presiden dimohon segera menunjuk orang yang powerfull untuk duduk di Badan Pangan, terutama yang punya kapasitas membereskan masalah impor pangan ini," kata Dwijono.

Kalau sebelumnya pemerintah akhirnya mendengar keluh kesah petani dan para pemerhati yang meminta menyetop impor beras, maka dalam berbagai kasus lainnya seperti keluhan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) semestinya juga didengar.

Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikun, saat webinar bertajuk "Modernisasi Gula Negara" yang berlangsung di Jakarta, Selasa (28/9), mengeluhkan gula hasil produksi petani tebu tidak terserap optimal di pasar pada kuartal III-2021. Hal itu disinyalir karena adanya persetujuan impor 3,1 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) atau gula rafinasi untuk industri makanan, minuman, dan farmasi pada tahun ini.

"Ini sudah bulan ke sembilan, harusnya gula produksi petani kita diminati oleh pedagang, tetapi ternyata gula ini banyak yang tidak terserap," kata Soemitro.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengaku heran, mengapa pemerintah masih memberi izin impor, sementara pemerintah juga mengetahui situasi daya beli masyarakat masih lemah.

Selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terjadi kontraksi yang cukup dalam pada industri makanan dan minuman (mamin) di mana sektor itu merupakan salah satu pembeli gula rafinasi.

"Kenapa masih diberikan izin impor, sementara industrinya alami penurunan. Jadi, kondisi ini berlarut-larut dan cenderung ada pembiaran untuk memuaskan pemburu rente impor gula," tegas Bhima.

Beralih Profesi

Menurut Bhima, langkah impor pasti akan merugikan produsen, khususnya petani lokal, yang produksinya tidak terserap di pasar. Mestinya, kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, punya data yang valid mengenai kapasitas produksi dan kebutuhan masyarakat.

"Pemerintah masih mendengar dan terpengaruh oleh bisikan serta lobi-lobi para pemburu rente impor yang menggaungkan agar impor dilakukan karena produksi kurang. Jika ini ditindaklanjuti dengan pemberian rekomendasi dan izin impor dari pemerintah maka pengusaha yang tadinya berminat membangun produksi gula dalam negeri berubah pikiran," kata Bhima.

Para petani pun banyak yang akan beralih profesi atau mengganti komoditas lain yang lebih menjanjikan karena harganya stabil. Sebenarnya, kata Bhima, ini menjadi tugas Badan Pangan yang baru dibentuk, yaitu menciptakan stabilitas harga, pasokan, dan konsumsi.

Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan tidak terserapnya secara optimal produk petani oleh pasar karena buruknya tata kelola.

"Dalam kasus gula, pabrik swasta atau BUMN semestinya didorong untuk melakukan ekspansi lahan dengan catatan tetap membeli dari petani. Jangan malah memberi insentif impor raw sugar yang dalam praktiknya banyak merembes ke pasar," kata Ramdan.

Pemerintah, kata Ramdan, seharusnya menyelesaikan persoalan satu persatu dengan niat keberpihakan pada petani, bukan sekadar lips service.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top