Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Aum, Kritik Sosial Samar Seorang Putu Wijaya

Foto : ISTIMEWA

pertunjukan teater

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Lakon Aum karya Putu Wijaya yang ditulis pada 1981 dipentaskan kembali di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta selama dua hari, yaitu pada 4 - 5 Januari 2023 mulai pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 22.00 WIB. Pertunjukan kali ini diadakan dalam rangka menggalang dana solidaritas bagi tokoh Teater Mandiri itu yang kini sedang dalam masa perawatan.

Pentas yang diadakan secara gratis ini menggalang donasi bagi Putu Wijaya. Pada kesempatan itu sastrawan Taufik Ismail menyumbang lukisan karya Amri Yahya yang dibeli oleh Abrory Jabar. Selain dia beberapa tokoh turut berdonasi seperti intelektual Denny JA, pematung Nyoman Nuarta, dan lainnya.

"Pertunjukan solidaritas ini bukan menggeser Teater Mandiri sebagai pengabdi sosial. Tetapi kami tetap pekerja teater yang akan melakukan kritik sosial," kata Jose RizalManua pendiri Teater Tanah air dalam pengantarnya pada pertunjukkan hari kedua Kamis (5/1).

Pertunjukan dimulai oleh dialog lucu dua orang satpam Bupati yang diperankan oleh Ari Sumitro dan Lalu Karta Wijaya. Keduanya mengeluhkan tentang pekerjaan dan nasib mereka sebagai seorang satpam, yang menjaga Bupati.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh rombongan yang dipimpin oleh Nenek yang diperankan oleh Laila Uliel El Nama. Anggota rombongan lainnya diperankan oleh Rukoyah, Imron Rosyadi, Taksu, Achong, Widi, Penny, dan Agung terpaksa menginap di luar pagar rumah.

Mereka menyatakan berasal dari sebuah wilayah yang berjarak 1.000 km jauhnya. Mereka memaksa untuk bertemu Pak Bupati diperankan oleh Gandung Bondowoso tapi dihalang-halangi oleh kedua Satpam. Setelah ribut dengan kedua satpam dan tidak bisa berjumpa dengan Pak Bupati mereka akhirnya menginap, di luar pagar.

Keesokan harinya mereka akhirnya dapat bertemu dengan Bupati yang sedang lari pagi,dan tetap dihalang-halangi Satpam. Satpam dimarahi Bupati karena menjauhkannya dari rakyatnya yang meminta bantuan.

Setelah berjumpa dengan Bupati mereka malah tidak percaya yang dihadapinya adalah penguasa wilayah itu. "Masa bupati hanya Menggunakan celana kolor krempeng. Tidak berwibawa sama sekali," demikian kata salah satu diantara mereka.

Bupati kemudian membalas, "Saya ini Bupati, meskipun hanya pakai kolor, tanda tangan saya sama kuatnya dengan saat berpakaian dinas. Daripada saya harus keluarkan pistol," tegasnya.

Mereka meragukan Bupati dan tidak ingin berdialog dengan orang yang tidak relevan. Tapi Bupati dan satpam menyatakan mereka adalah Bupati sesungguhnya. Agar sedikit berwibawa Bupati kemudian menggunakan celana panjang milik satpam, meski atasannya atasannya tetap kaos singlet.

Setelah melalui dialog panjang, rombongan akhirnya terpaksa mengakui orang yang di hadapannya adalah seorang Bupati. Mereka mendesak Bupati menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Anehnya mereka tidak pernah mengajukan pertanyaan sehingga Bupati dibuat pusing tujuh keliling.

Bupati terus didesak untuk menjawab pertanyaan. Namun sebelum menjawab pertanyaan ia meminta rombongan untuk mengajukan pertanyaan. Namun pertanyaan tidak pernah diajukkan. Dialog terus berkutat seputar pengajuan pertanyaan dan menjawab pertanyaan.

Pada dialog ini penonton menjadi sangat gemas. Mereka diajak pada keruwetan yang sebenarnya dengan mudah dapat diurai. Bukan mengajukan pertanyaan rombongan malah menunjukkan Bupati beberapa lelaki hamil. Bupati tambah bingung mengapa hal ini bisa terjadi. Dan rombongan itu terus meminta Bupati menjawab pertanyaan mereka.

"Kalo kamu tidak menjawab atau tidak mampu menjawab. Maka kami akan mengakhiri hidup," ancam nenek yang frustasi dengan nasib mereka karena pertanyaannya tidak pernah didengar sang penguasa.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Bupati sesuai ancaman yang diucapkan mereka akhirnya melakukan bunuh diri massal. Adegan ini terinspirasi dari kasus yang terjadi di Guyana, Amerika Selatan pada 1978. Ketika itu para pengikut sekte People's Temple Stones melakukan bunuh diri massal di bawah arahan pemimpin mereka, Jim Jones. Total, terdapat 900-an orang meninggal akibat kejadian itu.

Sedangkan lelaki hamil terinspirasi oleh berita seorang ibu yang melahirkan bayi kembar 9 di Bangladesh. Keanehan lain yang menginspirasi adalah sekawanan burung bunuh diri dengan menabrakan dirinya ke tembok.

Putu mengatakan, Aum merupakan kritik sosial kepada Orde Baru namun sangat samar tentang kebebasan. "Sementara di Tanah Air saat itu ada banyak kejanggalan dalam era Orde Baru yang tak berani dibahas oleh media massa," katanya yang hadir dengan kursi roda pada pementasan tersebut.

Selain itu kata Putu lakon tersebut membuat orang-orang di kampung menjadi gagap. "Lompatan teknologi yang terlalu cepat membuat seluruh dunia gamang. Terutama sekali saudara saudara kita sendiri yang di udik di pedalaman. Mari kita temani mereka agar tak sesat dan agar selamat," katanya.

Bagi penonton Aum cukup absurd. Pementasan ini tidak menampilkan sebuah masalah untuk dibahas. Dialog tidak membahas apa pun karena rombongan tidak pernah mengadukan masalah yang kepada Bupati untuk diselesaikan. "Seorang anak muda menghampiri saya sambil tersenyum. 'Aku sudah nonton ini dulu di TIM, tapi tak.mengerti apa maunya,'" kata Putu menirukan.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top