Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Investasi - ICOR yang Tinggi Salah Satu Masalah Utama Penghambat Investasi

Atasi Penghambat Efektivitas INA

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah harus menyelesaikan banyak PR demi optimalisasi INA lantaran nantinya keputusan LPI tersebut akan dipengaruhi pandangan investor terkait beragam penghambat investasi di Indonesia.

JAKARTA - Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sangat berpeluang sebagai salah satu instrumen dalam mendorong investasi. Namun, pemerintah perlu menyelesaikan berbagai masalah yang akan menghambat efektivitas kinerja kendaraan investasi tersebut.

"Saya kira belajar dari pengalaman negara lain, LPI ini memang berpeluang menjadi sebagai salah satu instrumen untuk mendorong investasi," kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, di Jakarta, Senin (18/1).

Terlebih lagi, lanjut Yusuf, keadaan pemerintah kesulitan mendapat pembiayaan dari dalam negeri, khususnya untuk membangun infrastruktur disebabkan keterbatasan ruang fiskal. Karena itu, LPI diharapkan dapat menjadi solusi alternatif.

Meski demikian, Yusuf memperingatkan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mengoptimalkan LPI. Sebab, nantinya keputusan investasi dari LPI akan dipengaruhi oleh pandangan investor terhadap beragam permasalahan penghambat investasi di Indonesia.

Dia menyebutkan beberapa pandangan investor tersebut di antaranya mengenai kesiapan infrastruktur pendukung di daerah, koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat, serta stabilitas ekonomi, politik, hukum dan HAM.

Menurutnya, dari beberapa poin di atas Indonesia masih menghadapi beragam pekerjaan rumah seperti stabilitas ekonomi yang sering berubah karena struktur ekonomi masih mengandalkan komoditas sebagai alat penggerak ekonomi. Kemudian, koordinasi investasi antara pemerintah pusat dan daerah yang juga masih terhambat karena beragam regulasi investasi yang justru kontraproduktif dengan semangat investasi.

Soal lain yang tidak kalah penting adalah kejelasan aturan mengenai asal dana yang masuk ke LPI, besaran persentase yang harus dimiliki pemerintah dalam jangka panjang, hingga arahan arus dana kelolaan LPI.

Sebab itu, Yusuf mengingatkan proses pengawasan merupakan poin penting yang harus diperhatikan karena adanya peluang lembaga seperti LPI yang akan melakukan praktik pencucian uang. "Belajar dari pengalaman skandal korupsi 1MDB, lembaga sejenis SWF juga bisa digunakan untuk melakukan praktik pencucian uang, korupsi, hingga investasi yang tidak likuid jenisnya," jelasnya.

Masalah Struktural

Sementara itu, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai pemerintah juga harus menyelesaikan masalah utama terkait investasi yakni Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi. "Faktor ICOR bukan dengan bentuk lembaga baru, tapi membenahi masalah struktural," ujarnya.

Menurut Bhima, tata kelola LPI harus benar-benar dijaga yang pedomannya telah tertuang dalam Santiago principle yakni dengan prinsip dasar mengenai aturan transparansi lembaga kepada pemilik. "Siapa itu pemiliknya? Karena dana modal awal berasal dari APBN maka pemilik yakni rakyat pembayar pajak berhak tahu laporan keuangan LPI. Ini poin paling penting," tegasnya.

Bhima juga mengingatkan keterlibatan lembaga audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut menjadi poin penting dalam mengelola LPI karena menyangkut dana publik.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap LPI yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA) sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan anggaran negara dan meningkatkan arus investasi (FDI). Jokowi bahkan optimistis LPI bakal menurunkan rasio utang Indonesia.

Pemerintah berharap INA bisa menarik investasi hingga 20 miliar dollar AS pada awal pembentukannya. LPI juga telah menerima 15 triliun rupiah dari APBN 2020. Selain itu, LPI juga telah menerima 50 triliun rupiah dari saham BUMN.

mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top