“Assessment" Pegawai KPK
Ketua KPK Firli Bahuri (kedua kanan) bersama Wakil Ketua Nurul Ghufron (kanan), anggota Dewan Pengawas Indriyanto Seno Adji (kedua kiri) dan Sekjen Cahya Hardianto Harefa (kiri) memberikan keterangan pers mengenai hasil penilaian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Dari 1351 pegawai KPK, sebanyak 1274 peserta berhasil memenuhi syarat dan 75 peserta tidak memenuhi syarat sementara dua orang tidak mengikuti tes.
Hasil assessment atau Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pengawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diumumkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/5).
Tes diselenggarakan pada 9-10 Maret 2021 di Gedung II Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta Timur. TWK itu diikuti oleh 1.351 pegawai KPK, sebagai syarat alih status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sebanyak 1.274 orang dinyatakan lolos, 75 orang tidak memenuhi syarat, dan dua orang tidak hadir.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengatakan alat ukur yang digunakan adalah Indeks Moderasi Bernegara atau IMB-68. Indeks tersebut pernah digunakan oleh TNI Angkatan Darat dalam polemik salah satu taruna Akademi Militer yang keturunan Prancis, Enzo Zenz Allie. Enzo menjalani tes tersebut setelah dikaitkan dengan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.
Ada tiga aspek penilaian dalam TWK ini. Tiga aspek itu adalah aspek integritas, netralitas ASN, dan antiradikalisme.
Seorang ASN harus taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah. Kedua, tidak terlibat dalam kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan pengadilan. Ketiga, memiliki integritas dan moral yang baik.
Menurut pengakuan sejumlah pegawai KPK, tes dibagi menjadi empat bagian, terdiri dari tiga modul dan satu esai. Modul 1 terdiri dari 68 soal, modul 2 ada 60 soal, modul 3 ada 60 soal dan esai. Sejumlah soal misalnya berbentuk pernyataan. Pegawai KPK harus memberikan skor dari pernyataan itu mulai dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju.
Sejumlah pernyataan dari modul itu, misalnya, penista agama harus dihukum mati, demokrasi dan agama harus dipisahkan. Para peserta diminta menjawab berdasarkan sikapnya terhadap pernyataan itu.
Pada bagian esai, para peserta diminta untuk memberikan pandangan mereka mengenai, misalnya Rizieq Shihab dan gerakan 212, Hizbut Tahrir Indonesia, Partai Komunis Indonesia, LGBT dan transgender.
Soal-soal yang diberikan lebih miripscreeningideologi. Soal-soal ini tentu kurang relevan dengan pekerjaan orang-orang di KPK. Dalam bahasa psikologi, terkesan ada problem validitas, yaitu ketidaksesuaian antara objek yang diukur dan instrumen assessment-nya.
Akhirnya timbul kecurigaan, jangan-jangan TWK ini adalah cara untuk menyingkirkan sejumlah pegawai berintegritas di lembaga antirasuah itu. Soal yang diberikan dianggap janggal karena menyortir pandangan keagamaan dan pribadi seseorang.
Semestinya, sebuah tes yang dijalani pegawai KPK itu lebih berfokus untuk melihat kompetensi dan kinerjanya. Mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama, dan berkeyakinan.
Yang terakhir, assessment TWK tidak boleh merugikan pegawai KPK. Apalagi Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) dalam berkas putusan terkait uji formil dan materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 telah memutuskan peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan dan mengurangi hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya