Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hubungan Bilateral

AS Ajak Tiongkok Mulai Bahas Pengurangan Risiko Senjata Nuklir

Foto : AFP/HANDOUT/NATURE COMMUNICATIONS

AS dan Tiongkok mengadakan pembicaraan pertama mereka mengenai pengendalian senjata nuklir dalam hampir lima tahun pada 6 November.

A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON - Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat (AS) tidak mengharapkan perundingan formal mengenai pengendalian senjata nuklir dengan Tiongkok dalam waktu dekat, tetapi ingin melihat dimulainya diskusi mengenai langkah-langkah praktis pengurangan risikonya.

Dikutip dari The Straits Times, pejabat senior Gedung Putih untuk pengendalian senjata dan nonproliferasi, Pranay Vaddi, mengatakan penting untuk mengadakan pembicaraan awal mengenai pengendalian senjata pada bulan November dengan Tiongkok.

Namun, Vaddi menekankan perlunya perundingan tersebut melibatkan pembuat keputusan penting Tiongkok atau yang memberi pengaruh pada postur senjata nuklir negara tersebut. "Kami tahu, tidak akan langsung melakukan perundingan pengendalian senjata formal dalam waktu dekat. Kami tahu persenjataan mereka masih terus dikembangkan," kata Vaddi kepada Pusat Studi Strategis dan Internasional, di Washington, Kamis (18/1).

"Dalam hal pengendalian senjata, kami benar-benar ingin melihat Tiongkok merespons beberapa gagasan kami yang lebih substantif mengenai pengurangan risiko, dan kami masih menunggu apakah mereka akan meresponsnya," tambahnya.

AS dan Tiongkok mengadakan pembicaraan pertama mereka mengenai pengendalian senjata nuklir dalam hampir lima tahun pada tanggal 6 November, di tengah meningkatnya kekhawatiran AS mengenai pengembangan nuklir Tiongkok, namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan hasil yang spesifik.

Pembicaraan tersebut terjadi menjelang pertemuan puncak bulan Desember antara Presiden AS, Joe Biden, dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, yang menghasilkan dimulainya kembali dialog antarpetinggi militer.

Jaga Jalur Komunikasi

Vaddi mengatakan Washington ingin menjaga jalur komunikasi terbuka dengan Tiongkok dan ada gunanya mengadakan konsultasi pengendalian senjata pada bulan November. "Tetapi bagi kami, kami ingin benar-benar dapat membuat kemajuan dalam masalah ini."

"Sehubungan dengan pengendalian senjata, kami ingin melihat beberapa langkah praktis mulai dibahas," katanya, seraya menambahkan diskusi semacam itu bisa bersifat bilateral atau dalam konteks lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu AS, Tiongkok, Russia, Inggris, dan Prancis.

"Bukan kepentingan kami untuk sekadar mengadakan pertemuan. Agar kami memiliki saluran nyata yang khusus membahas masalah-masalah ini, kami ingin menggunakan saluran-saluran ini untuk tujuan tertentu dan untuk menyelesaikan beberapa masalah yang telah kami identifikasi," katanya.

AS dan Tiongkok mengadakan perundingan militer selama dua hari di Washington pekan lalu, yang merupakan keterlibatan terbaru mereka sejak setuju untuk melanjutkan hubungan militer-ke-militer.

Dalam laporan tahunannya mengenai militer Tiongkok pada bulan Oktober, Pentagon mengatakan Tiongkok memiliki lebih dari 500 hulu ledak nuklir yang beroperasi dan mungkin akan memiliki lebih dari 1.000 hulu ledak pada tahun 2030.

AS mempunyai persediaan sekitar 3.700 hulu ledak nuklir, dan sekitar 1.419 hulu ledak nuklir strategis.

Sementara itu, Russia mengatakan pihaknya tidak akan membahas pengendalian senjata nuklir dengan AS karena negara tersebut mendukung Ukraina.

Menlu Russia, Sergei Lavrov, mengatakan tidak mungkin membahas pengendalian senjata nuklir dengan AS tanpa mempertimbangkan situasi di Ukraina, dan menuduh Washington mencari dominasi militer.

Lavrov mengatakan Washington telah mengusulkan pemisahan kedua isu tersebut dan melanjutkan perundingan "stabilitas strategis" antara kedua negara, yang sejauh ini memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia.

Namun, ia menyebut usulan tersebut tidak dapat diterima oleh Russia karena dukungan Barat terhadap Ukraina dalam perang yang kini mendekati akhir tahun kedua.

Tidak adanya dialog merupakan hal yang penting karena perjanjian New Start yang membatasi hulu ledak nuklir strategis kedua belah pihak akan berakhir pada bulan Februari 2026. Jika perjanjian ini tidak berlaku lagi, kedua negara tidak akan lagi memiliki perjanjian senjata nuklir yang tersisa pada saat ketegangan di antara mereka sedang memuncak, titik tertinggi sejak krisis rudal Kuba tahun 1962.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top