Apakah Tujuan Akhir dari Pemberantasan Korupsi?
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita
Foto: istimewaOleh: Romli Atmasasmita
Judul artikel ini bernada pertanyaan untuk mengetahui akhir dari pemberantasan korupsi atau dengan lain perkataan, apakah tujuan pemberantasa korupsi?
Tanpa tujuan diketahui atau dipahami apa yang menjadi tujuan sosial terakhir dari pemberantasan korupsi mengakibatkan terjadinya anarkhi di dalam penanganannya sebagai mana dikemukakan Von Jhering (1913), tanpa landasan yang mendasar untuk melakukan tindakan atau teori untuk melakukan penegakan hukum, semua peraturan perundang-undangan dan penafsiran hukum akan direduksi menjadi anarkhi ketidakpastian.
Pendapat Von Jhering ini terbukti dari kenyataan penegakan hukum (baca: UU Tipikor 1999/2001), yang telah berjalan tanpa kedua hal tersebut, landasan mendasar dan teori hukum yang jelas, telah menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan terbukti ketidakadilan atau kepastian dan keadilan untuk seorang terdakwa, tetapi di saat yang sama juga ketidakpastian dan ketidakadilan bagi terdakwa lain atau sebaliknya terjadi bahwa negara telah terlalu banyak mengambil hak seseorang untuk memperoleh jaminan perlindungan kepastian yang adil demi kemaslahatan untuk negara semata-mata.
Selama 25 (dua puluh lima) tahun pemberantasan korupsi dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2011 (UU Tipikor) Kejaksaan dan KPK telah berhasil mengembalikan (memulihkan) kerugian negara kurang lebih dari 50 (lima puluh) triliun dan telah diumumkan kepada publik secara luas, namun selama dua puluh lima tahun itu pula, masyarakat luas tidak mendengar berapa banyak nilai uang yang telah dikembalikan Kejaksaan dan KPK dan diterima di kas negara dan di mana pos anggaran APBN manakah hasil pengembalian uang negara itu disimpan; sejatinya gelap gulita tidak pernah nyata dan pasti.
Sekiranya uang hasil pengembalian kerugian negara itu dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan BPJS dan bansos setiap tahun, atau untuk peroyek makan siang gratis era Presiden Prabowo, alangkah jelas kemanfaatan nyata dari pemberantasan korupsi yang selama ini telah berhasil dilaksanakan dengan telah menelan biaya dan anggaran negara lebih dari 50 (lima puluh triliun) untuk Kejaksaan dan KPK selama lebih dari dua puluh lima tahun lamanya.
Kebiasaan baik oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengumumkan hasil kinerja pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan dan KPK kepada masyarakat luas setiap awal, selama dan akhir tahun anggaran merupakan bagian dari politik hukum pemberantasan korupsi yang sangat dinantikan 270 juta rakyat Indonesia; bahkan lembaga donor internasional dan lembaga internasional antikorupsi di PBB.
Mengatasi Kemiskinan
Politik hukum pemberantasan korupsi sedemikian jika dijalankan pemerintahan era Prabowo patut kita apresiasi dan acungi jempol, apalagi ditujukan membantu pemerintah mengatasi kemiskinan selama ini.
Kiranya jika politik hukum pemberantasan korupsi tersebut berjalan secara intensif dan berkesinambungan, tampaknya rakyat luas dari menengah ke atas, tidak akan ragu dan khawatir jika dipungut pajak oleh negara sekalipun berkali-kali dinaikkan untuk membiayai anggaran operasional Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK serta lembaga- lembaga pengawasan lembaga penegak hukum.
Untuk mencapai tujuan akhir pemberantasan korupsi sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan beberapa langkah berikut.
Pertama, evaluasi secara menyeluruh dan teliti dari berbagai aspek, bukan hanya aspek hukum, melainkan juga aspek sosial dan aspek ekonomi khususnya prinsip analisis eknonomi mikro terhadap peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi termasuk UU Anti Pencucian Uang.
Kedua, evaluasi kelembagaan terutama biro/direktorat dan kelembagaan terkait yang ditugasi memberantas korupsi baik di kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Ketiga, perlu evaluasi kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak dengan maksud meneliti kelemahan dan kelebihannya bagi perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa, tetapi juga bagi konsistensi, integritas, dan akuntabilitas kinerja ketigalembaga tersebut.
Keempat, perlu dipertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan di dalam UU Tipikor yang dapat menghambat tujuan hukum pidana pada umumnya (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan), khususnya mencapai keberhasilan, baik kuantitas dan kualitas penegakan hukum pemberantasan korupsi sehingga tergambar secaa jelas keseimbangan, efisiensi, dan kemanfattan ketiga lembaga tersebut di dalam memulihkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; tidak sebaliknya menjadi hambatan secara sistematis dan terstruktur bagi proyek-proyek strategis nasional era pemerintahan Joko Widodo dan memasuki era pemerintahan Prabowo Subianto lima tahun ke depan.
Pertimbangan dan evaluasi tolok ukur keberhasilan penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menilik pengalaman baik dan ekses negatif intervensi kekuasaan ke dalamnnya; perlu diselaraskan antara tujuan kepastian dan keadilan dengan pendekatan normatif sistematis dengan tujuan kesimbangan, efisiensi, dan kemanfaatan dengan pendekatan analisis ekonomi mengenai penegakan hukum pidana in casu pemberantasan korupsi.
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Cawagub DKI Rano Karno Usul Ada Ekosistem Pengolahan Sampah di Perumahan
- 3 Pasangan Andika-Hendi Tak Gelar Kampanye Akbar Jelang Pemungutan Suara Pilgub Jateng
- 4 Pusat perbelanjaan konveksi terbesar di Situbondo ludes terbakar
- 5 Ini Cuplikan Tema Debat Ketiga Pilkada DKI