Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - IMF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Global 3,3 Persen

Antisipasi Perlambatan Global, Pacu Revitalisasi Manufaktur

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai pemerintah mesti segera melakukan revitalisasi industri manufaktur nasional dengan fokus utama meningkatkan daya saing industri yang bernilai tambah. Strategi ini juga dinilai berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi tinggi di Indonesia sekaligus mengantisipasi dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbaru World Economic Outlook 2019 edisi April, kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini sebesar 3,3 persen, dari prediksi sebelumnya 3,5 persen.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan dampak perlambatan ekonomi global cukup besar bagi perekonomian Indonesia, misalnya terhadap nilai tukar rupiah. Tren mata uang RI itu diperkirakan kembali melemah seiring antisipasi investor melihat melihat gejala perlambatan ekonomi dunia akan terus berlanjut sepanjang tahun ini.

"Perlambatan ekonomi akan turunkan proyeksi ekspor Indonesia, dan hasilnya neraca perdagangan masih defisit. CAD (current account deficit) masih betah di kisaran 2,5-2,9 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," kata dia, di Jakarta, Rabu (10/4). Menurut Bhima, sektor yang paling terpukul adalah harga komoditas seperti sawit dan karet. Prospek komoditas tambang juga negatif, khususnya akibat penurunan permintaan batu bara dari Tiongkok.

Dia menambahkan, efek perlambatan berpeluang besar mempengaruhi industri manufaktur Indonesia. Pelaku usaha dikhawatirkan melakukan efisiensi di beberapa bidang, baik biaya produksi hingga jumlah tenaga kerja. "Ekonomi Indonesia diproyeksi hanya tumbuh 5 persen tahun 2019, bahkan bisa terkoreksi ke 4,9 persen," tukas Bhima.

Terkait dengan penguatan struktur industri, sejumlah kalangan mengingatkan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk segera menyusun cetak biru yang berisikan peta jalan (road map) dan kebijakan guna meningkatkan daya saing industri yang memiliki nilai tambah.

Indonesia tidak perlu menunggu berakhirnya kebisingan tahun politik di dalam negeri dan penyelesaian perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang diprediksi hanya tinggal menunggu waktu. Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, YS Susilo, mengemukakan pemerintah harus mulai menyiapkan konsep atau cetak biru pembangunan industri terutama untuk substitusi impor dan orientasi ekspor.

"Mau gak mau harus pacu daya saing dan nilai tambah. Makin cepat makin baik, mulai sekarang," papar Susilo, belum lama ini. Hal senada dikemukakan Center of Reform on Economics (Core) Indonesia. Lembaga itu menilai revitalisasi industri manufaktur sebagai kunci utama pendorong pertumbuhan ekonomi tinggi.

Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan pemerintah bisa melakukan revitalisasi industri, antara lain melalui pembangunan industri hilir. Selain itu, dengan mendorong higher value added industri manufaktur. "Mencontoh Vietnam saja, mereka sejak 10 tahun terakhir sudah mengekspor manufaktur bernilai lebih, sedangkan kita masih yang nilainya medium," ujar dia, Selasa (9/4). Selain industri hilir, lanjut Faisal, membangun industri hulu juga diperlukan.

Hal Krusial

Terkait laporan IMF, Kepala Ekonom IMF, Gita Gopinath, mengemukakan langkah pemerintah dan bank sentral dalam menentukan kebijakan di tengah kondisi pelemahan ini merupakan hal yang krusial. Keterbatasan ruang fiskal dan moneter diprediksi akan memperburuk realisasi dari risiko perlambatan ekonomi ini.

"Perkiraan terbaru kami menunjukkan perlambatan pada hampir 70 persen ekonomi dunia di mana pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,6 persen pada 2018, kini pada 2019 menjadi 3,3 persen," ungkap dia. Secara khusus IMF juga menyerukan kepada pemimpin dunia untuk berhati-hati terhadap apa yang disebut sebagai delicate moment atau "peristiwa yang rumit" seperti perang dagang, perubahan iklim, sistem perpajakan internasional, dan risiko keamanan di dunia maya.

"Jika hal-hal rumit dan risiko penurunan pertumbuan ekonomi ini tidak terjadi dan kebijakan ekonomi berjalan efektif, maka pertumbuhan ekonomi akan pulih," imbuh Gopinath. Sebaliknya, jika hal-hal rumit itu terjadi, perkiraan pertumbuhan ekonomi akan terus turun.

Oleh karena itu, para pengambil kebijakan harus melakukan penyesuaian dan sinkronisasi dengan stimulus ekonomi, disertai kebijakan ekonomi yang lebih akomodatif. "Penting untuk menghindari terjadinya kesalahan yang berisiko menimbulkan kerugian besar," tukas Gopinath.

bud/Ant/ahm/WP

Penulis : Vitto Budi, Antara

Komentar

Komentar
()

Top