Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Novel Pendek yang Sarat Makna

Foto : Haryo Brono/Koran Jakarta

Eka Kurniawan, pengaran novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (AMKM). (Haryo Brono/Koran Jakarta)

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Setelah peluncuran novel terbarunya Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (AMKM) pada 7 Juli lalu, Gramedia Pustaka Utama mengajak media untuk berbincang lebih dekat dengan pengarangnya Eka Kurniawan. Dalam diskusi bersama dengan beberapa media penulis peraih World Readers Award membeberkan kisah kreatif di balik karya bersampul warna jingga itu.

Dalam karya ini, penulis mengajak pembaca untuk mengeksplorasi berbagai tema seperti kehidupan sehari-hari, sosial, dan politik. Pendekatannya cukup cerdas dan dipenuhi dengan banyak humor sehingga tidak terlihat tegang.

Novel ini diawali dengan dialog antara tokoh utama seorang anak yang baru disunat bernama Sato Reang dengan Jamal yang juga disebut kembali dalam sampul belakang versihard coverdari buku novel AMKM.

"Berbuatlah sedikit dosa, Jamal," kata Sato Reang kepada satu kawan sekelasnya. Jamal anak yang saleh, selalu sembahyang lima kali sehari, juga rajin mengaji. "Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu."

"Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang. Isi kepalanya riuh dan berisik, terutama sejak ia berumur tujuh tahun, ketika sang ayah berkata kepadanya, 'Sudah saatnya kau menjadi anak saleh,'" tulis potongan sinopsis dikutip dari penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU).

Novel AMKM dimulai ketika seorang anak bernama Sato Reang yang memutuskan untuk meninggalkan jalan hidup sebagai anak saleh yang selama ini dilakukan dan ditunjukkan oleh ayahnya. Ia berhenti ke masjid, berhenti sembahyang, tidak mengucapkan doa sebelum tidur dan sebagainya.

Cerita terus berlanjut. Di sini Eka membiarkan pembacanya untuk menginterpretasikan sendiri isi novelnya secara bebas. Ia tidak ingin mendikte pembaca dengan mengatakan inti dari novelnya.

"Kalau ada pertanyaan inti dari novel ini apa saya tidak pernah akan menjawab. Ini supaya pembaca tidak didikte oleh penulis," ungkap Eka di Jakarta beberapa waktu lalu.

Salah satu yang menarik dari novel ini adalah nama Sato Reang yang kurang akrab di telinga. Nama ini cenderung tidak umum dibandingkan nama lain dalam novel ini seperti Jamal, Kurnia, Rani, Ningsih, Ran, Bulan, dan sebagainya. Nama ini juga agak berbeda dengan novel-novel EKa lainnya.

"Sato itu dalam bahasa Sunda artinya binatang. Reang artinya berisik," kata Eka yang lahir di Tasikmalaya pada tanggal 28 November 1975.

Meski ia menampilkan kosakata bahasa Sunda dari nama Sato Reang namun dalam novel ini hampir tidak ada kosakata lainnya selanjutnya.

Tentang judul yang AMKM Eka menuturkan, judul ini tidak ada hubungannya dengan isi. Kedua nama hewan bukan personifikasi dari tokoh-tokohnya. Jadi menurutnya datang begitu saja.

"Di dalam novel tidak ada kutipan judul. Jadi kalau Shakespeare biang apa arti sebuah nama maka sama saja apa arti sebuah judul," ujar lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Seperti novel-novel sebelumnya Eka menyukai penggunaan judul yang bersifat paradoksal atau bertolak belakang. Novel itu adalah Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014).

Berbeda dengan novel-novel terdahulu, novel AMKM cukup tipis atau hanya 135 halaman. Bandingkan dengan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sebanyak 241halaman dan Cantik itu Luka berjumlah 537halaman.

Baginya menulis bukan tentang berapa halaman novel ini nantinya. Kadang orang melihat novel disebut sangat tebal, pada kesempatan ini novelnya disebut sangat tipis.

"Saya menulis tidak sependek apa dan sepanjang apa apa. Ada yang bilang wah ini tebal banget. Yang memang selesainya segitu," ungkapnya tentang novel yang telah terjual 5.000 eksemplar sejak berada di toko pada 31 Juli 2024 hingga

Ia khawatir jika AMKM dibuat lebih panjang malah akan mengulang-ulang cerita yang sama, sehingga bisa membosankan pembacanya. Sebelum menerbitkan AMKM ia bahkan sudah membandingkan dengan novel-novel tipis lainnya seperti karya-karya Motinggo Busye.

"Saya mencoba membaca novel pendek orang seperti novel Motinggo Busye yang tipis-tipis itu," ujarnya Eka yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari tiga puluh bahasa.

Menurut editor AMKM Mirna Yulistianti, tebal tipis bukan masalah bagi sebuah karya. Jika ceritanya dipaksa lebih panjang dengan halaman lebih banyak dikhawatirkan ceritanya tidak fokus berlari ke mana-mana.

"Tebal dan tipis menurutku bukan hal signifikan dalam karya karya Eka. Kalau panjang-panjang nanti banyak mubazir dan ngelantur," tuturnya.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top