Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan I APBN Sebisa Mungkin untuk Menguatkan Sektor Pertanian

Anggaran Tinggi Belanja Pegawai Tak Mampu Dorong Pertumbuhan

Foto : ISTIMEWA

Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga - APBN sebisa mungkin dibelanjakan dengan produktif, seperti untuk menguatkan sektor pertanian karena ini sifatnya padat modal.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Anggaran pemerintah yang banyak dialokasikan untuk belanja pegawai tidak akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat daerah maupun nasional. Seharusnya belanja pembangunan lebih besar dari belanja rutin, apalagi APBN yang dibiayai dengan utang.

"Dari pengamatan kami terkait desentralisasi fiskal ditemukan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) lebih banyak untuk belanja rutin (gaji pegawai, kegiatan rutin, maintainance) dibandingkan belanja modal untuk pembangunan," kata Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, kepada Koran Jakarta, Senin (8/7).

Hal itu tidak beda dengan kondisi APBN. Pengeluaran rutin lebih besar dari pengeluaran pembangunan. Semestinya utang dialokasikan untuk kegiatan produktif sehingga dapat meng-generate income lebih besar sehingga Indonesia bisa terbebas dari utang.

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan perlu langkah yang tepat dalam menyalurkan APBN agar hasilnya lebih produktif, yaitu pada sektor-sektor yang bersifat padat modal dan memiliki dimensi ekonomi kerakyatan.

"APBN sebisa mungkin dibelanjakan dengan produktif, seperti untuk menguatkan sektor pertanian karena ini sifatnya padat modal. Mayoritas penduduk kita berada di perdesaan dan berkaitan erat dengan pertanian atau nelayan. Bonus demografi yang akan datang terutama di perdesaan adalah modal sosial, yang dapat digunakan untuk menggerakkan roda ekonomi," kata Bagong.

Namun, tambah dia, bila tidak didukung sejak jauh hari, dengan menguatkan indsutri padat karya seperti pertanian maka bonus demografi tersebut akan justru menjadi beban. Karena harus disediakan lapangan kerja yang sesuai dengan kualitas dan kualifikasi SDM.

Apa yang disampaikan Esther, Bagong, dan Aloysius ini menanggapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Seperti dikutip dari Antara, Menkeu mengatakan anggaran sebesar 762,1 triliun rupiah atau 76,4 persen dari belanja pemerintah langsung mengalir ke masyarakat.

"Belanja negara semester I yang mencapai 1.398 triliun rupiah dan belanja pemerintah pusat 997,9 triliun rupiah, sebanyak 762,1 triliun rupiah langsung dinikmati masyarakat," kata Menkeu dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7).

Dia menjelaskan anggaran itu disalurkan terhadap tujuh pos belanja, di antaranya perlindungan sosial, pendidikan, infrastruktur, kesehatan, keterjangkauan energi, pertanian, dan UMKM.

Belanja perlindungan sosial digunakan untuk Program Keluarga Harapan (PKH) senilai 14,2 triliun rupiah yang disalurkan kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan Kartu Sembako sebanyak 22,2 triliun rupiah untuk 18,7 juta KPM.

Belanja pendidikan di antaranya untuk Program Indonesia Pintar (PIP) senilai 8,1 triliun rupiah untuk 10,5 juta siswa, Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah 6,8 triliun rupiah untuk 869,3 ribu mahasiswa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan melalui Kementerian Agama 5,6 triliun rupiah untuk 4,9 juta siswa, dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) 2,6 triliun rupiah untuk 197 PTN.

Anggaran untuk pos infrastruktur telah disalurkan senilai 75,2 triliun rupiah untuk pembangunan atau rehabilitasi jalan, jembatan, rel kereta api, bandara, pelabuhan, bendungan, jaringan irigasi, sistem penyediaan air minum (SPAM), rumah susun, gedung dikti, dan kapasitas satelit.

Optimalisasi APBN

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mempertanyakan apakah 76,4 persen APBN tersebut, 100 persen sampai ke masyarakat. Pertanyaan ini terkait masih banyaknya kebocoran atau korupsi terkait bantuan untuk masyarakat.

"Kedua, defisit APBN membengkak. Artinya, bila cara ini berlanjut, ruang gerak APBN juga menjadi sempit," kata Aloysius. Menurutnya, hal tersebut krusial juga untuk pemerintahan mendatang yang tampaknya akan lebih populis.

Ketiga, belanja tersebut tampaknya tidak benar-benar menstimulus pertumbuhan, tetapi lebih seperti bumper temporer yang tidak selalu produktif. "Oleh sebab itu, optimalitas APBN menjadi krusial. Bila perlu, proyek-proyek yang kuat aroma mercusuarnya dan lemah sisi kontrolnya, harus ditinjau ulang," tandas Aloysius.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top