Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 18 Apr 2020, 03:00 WIB

Amin Soebandrio : Pemeriksaan Sampel Covid-19 Harus Diperluas

Foto: ISTIMEWA

Kasus kematian di Indonesia berbeda dengan negara lain, di mana tidak hanya mengancam usia rentan, tapi juga masyarakat dengan usia relatif muda. Meski ada kabar baik, di mana jumlah pasien sembuh melebihi jumlah pasien meninggal, kewaspadaan dan percepatan penanganan tidak bisa dikendorkan. Pemeriksaan menjadi penting untuk menentukan langkah penanganan selanjutnya bagi orang yang diperiksa.

Untuk mengetahui apa saja yang perlu dilakukan dalam mengatasi pandemi Covid-19, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Marup dan Gadis Saktika, berkesempatan mewawancarai Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, dalam beberapa kesempatan di Jakarta. Berikut petikan selengkapnya.

Sejauh mana peran lembaga Eijkman membantu deteksi dini dan uji sampel virus korona?

Kami sudah menyiapkan diri sejak Januari. Fasilitasnya sudah terpasang sejak 2-3 tahun lalu. Kami sudah menggunakan itu untuk mendeteksi berbagai macam virus pada hewan liar yang dekat dengan manusia. Kami sudah mendeteksi beberapa virus korona yang lain. Menurut kami, mendeteksi virus korona bukan sesuatu hal yang baru.

Terkait dengan wabah ini, kami sudah menyiapkan diri. Ketika kami sudah diberi izin meneliti, kami siap. Peralatan dan peneliti pun sudah siap. Namun, kami memiliki kebijakan tidak menerima pasien langsung untuk datang. Jadi, kami hanya menerima sampel yang diambil di rumah sakit.

Kami pun meneliti sampel pasien bukan hanya dari Jakarta, namun beberapa daerah lain. Kami menyediakan Virus Transfer Media (VTM) yang digunakan untuk meletakkan spesimen yang diambil dari pasien menggunakan metode swab. Kami menyediakan alat swab kepada rumah sakit yang membutuhkan.

Bagaimana proses pemeriksaan di Lembaga Eijkman?

Kami mengambil spesimen yang berkualitas tinggi agar virus tetap hidup setelah dari tenggorokan. Cara pengambilan spesimen harus baik dan benar cara penempatan dan lokasi pengambilannya. Setelah itu, baru dibawa ke Eijkman. Dari VTM itu, muncul reaksi RNA dari genetik virus korona. Dari RNA itu, kemudian diproses ke dalam PCR. RNA diubah menjadi DNA, kemudian dibaca mesin PCR setelah beberapa jam akan kelihatan mana yang bereaksi dan mana yang tidak. Bereaksi itu positif, lalu setelah konfirmasi positif baru dilaporkan.

Lembaga Eijkman sudah menguji berapa sampel?

Di Eijkman per hari mengalami fluktuasi yaitu antara 300 sampai hampir mencapai 800 sampel. Meskipun angka ini terus bertambah, tapi masih belum disebut mencapai puncaknya.

Bagi Lembaga Eijkman, bagaimana ketersediaan SDM saat ini?

Kami mengantisipasi itu, melihat tren perkembangannya yang terus naik. Jadi, kami masih bekerja satu shift, dari jam 9 pagi sampai malam. Dengan demikian, kami memobilisasi teman-teman peneliti dari unit lain yang ada di Lembaga Eijkman.

Apa tantangan terberat dalam mendeteksi virus korona?

Tantangan yang cukup berat yaitu kami diminta mendeteksi secepat mungkin. Kami tahu virusnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Deteksi virus yang lebih cepat sangat penting untuk penanganan pasien. Artinya, informasi pasien ini mengidap penyakit Covid-19 atau tidak.

Secara epidemiologi atau tentang penyebaran penyakit tersebut juga berguna karena begitu diketahui positif bisa segera dilakukan pelacakan kontak atau contact tracing. Semakin tertunda prosesnya yang bersangkutan sudah bisa menularkan ke orang lain.

Virus korona jenis baru yang ada di Indonesia ini apakah gejalanya sama seperti yang terjadi di negara lain?

Secara umum ini virus baru. Meskipun berasal dari hewan dan sebagainya, tapi virus ini belum ada sebelumnya. Kami tidak mempermasalahkan virus ini alami atau buatan manusia, tapi yang pasti ini belum ada sebelumnya. Ini mungkin menyebabkan respons imun yang ditimbulkan manusia yang terjangkit agak lambat.

Virus ini sangat menular. Ada yang mengatakan penularannya 20 kali lebih cepat dari SARS. Fakta di Indonesia, jumlah kematian itu relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Yang lebih menarik lagi, kalau di Tiongkok misalnya dilaporkan lebih banyak orang-orang usia lanjut yang meninggal 80 persen di atas 60 tahun. Namun, di Indonesia kenyataannya banyak usia muda juga meninggal. Iniharus diperhatikan ketika menangani virus ini.

Bagaimana progres dari pemeriksaan yang telah dilakukan?

Saya perhatikan dalam dua bulan belakangan ini, masalah yang sering kita hadapi utamanya dalam penanganan spesimen. Terkait spesimen, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu collection, preservation, dan transportation. Dalam tahap pengambilan atau collection itu sering terjadi kesalahan seperti spesimen hanya diambil dari cuping hidung.

Salah satunya karena tidak tersedianya alat yaitu cotton swab yang cukup kecil untuk bisa mencapai nasofaring yang terletak pada tenggorokan bagian atas di belakang hidung dan di balik langit-langit rongga mulut. Masalah juga terjadi di tahap preservation dan transportation sehingga hal tersebut berpotensi terjadi false negative atau negatif palsu saat pemeriksaan.

Kondisi laboratorium dan alat lainnya seperti apa?

Sekarang sudah makin banyak laboratorium yang dilibatkan dalam pemeriksaan. Tapi, kita harus cermati apa laboratorium itu memenuhi persyaratan atau tidak. Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan data umum pedoman bagaimana laboratorium itu seharusnya kalau akan menerapkan pemeriksaan molekuler.

Peralatan di Indonesia ada beragam. Contohnya mesin reaksi berantai polimerase (PCR) ada beragam jenis dan merek. Sekarang kita cenderung percaya saja kepada vendor karena kita tidak punya waktu untuk menstandardisasi atau validasi peralatan yang ditawarkan dari luar negeri.

Bagaimana kondisi pemeriksa?

Personel harus diperhatikan karena mereka yang betul-betul terbiasa. Pipetnya bisa sama, tapi beda orang yang megang, hasilnya bisa beda. Jari-jari itu sangat menentukan. Saya sudah tidak berani pegang pipet karena dalam tiga kali dengan skala yang sama, hasilnya beda-beda.

SDM ini berkaitan dengan keselamatan. Banyak teman yang ingin membantu pemeriksaan, tapi peralatannya minim. Itu betul-betul memperbesar kemungkinan teman-teman kita yang bekerja di laboratorium untuk terpapar virus yang sangat cepat menularnya ini.

Apa rekomendasi agar pemeriksaan bisa cepat dilakukan?

Kalau dikaitkan dengan kemampuannya, ada yang disebut laboratorium besar terletak di Jakarta atau kota besar yang sifatnya terpusat. Di sisi lain, kita juga perlu memikirkan faktor-faktor lain apakah perlu dibangun laboratorium di provinsi, yang sifatnya desentralisasi dan laboratorium lebih kecil lagi yang sifatnya sentinel dengan alat kecil dan praktis.

Indonesia ini sangat besar dan jaraknya jauh. Jadi, ukuran negara yang besar ini kita banggakan, tapi menjadi satu tantangan sendiri. Kemarin, kami berdebat kalau itu terpusat di Jakarta semua, meski kapasitas sehari bisa 10.000, tapi sampel itu akan dikirim dari tempat-tempat yang jauh. Saat ini masih sangat terbatas.

Jadi, salah satu rekomendasi kami, kalau bisa alat-alat itu didesentralisasi di beberapa provinsi yang kasusnya besar. Sehingga sampel tidak perlu dikirim ke Jakarta semua, tapi tentu kita harus tetap menjaga standar performance-nya yang terbaik. Dalam penyebaran ini perlu diperhatikan ketersebaran reagennya dan SDM-nya. Kalau SDM-nya tidak bisa, dilatih dulu.

Setelah pemeriksaan terdesentralisasi apa yang harus diperhatikan?

Kita dituntut 10.000 tes PCR sehari dalam 100 hari atau tiga bulan ke depan. Itu kan satu juta tes yang harus dikerjakan. Kalau PCR itu kira-kira satu tes 500 ribu rupiahuntuk kebutuhan reagen PCR dan alat-alat lainnya belum termasuk SDM.Maka angka itu akan menjadi 500 miliar rupiah totalnya yang harus disediakan. Itu juga barangkali terlupakan karena kita dituntut melakukan tes sebanyak-banyaknya, tapi bahasa Jawanyawani pira?

Itu harus tersedia karena kalau tidak, kita sulit memenuhi dalam waktu 100 hari ke depan. Selain ketersediaan alat, yang menentukan adalah ketersediaan reagennya. Ini penting untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan. Kita bersaing dengan negara-negara lain juga untuk mendapatkannya jadi memang sulit.

Pemerintah sudah menetapkan kebijakan PSBB di beberapa wilayah. Seefektif apa kebijakan ini menekan penularan?

PSBB dibuat untuk mengajak partisipasi aktif masyarakat. Artinya, kalau PSBB diterapkan, tapi masyarakat tidak mendukung dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat dan menjaga jarak, PSBB tidak tercapai waktu singkat. PSBB satu alat saja. Untuk itu, masyarakat harus ikut berpartisipasi. Kalau tidak, tujuan dari PSBB sulit tercapai.

Lembaga Eijkman diberi tugas membuat vaksin Covid-19, berapa lama waktu yang dibutuhkan?

Sepekan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua pasien pertama Covid-19, Kemenkes mengajak Lembaga Eijkman dan insitusi lain untuk terlibat dalam penanganan virus korona. Kami ditugaskan membentuk konsorsium untuk membuat vaksin, diagnosis, dan suplemen. Lembaga Eijkman ditunjuk sebagai pemimpin konsorsium pengembangan vaksin tersebut.

Kami diberi target 18 bulan, itu sesuai target WHO. Mudah-mudahan dalam waktu setahun, kami sudah bisa menemukan bibit vaksin yaitu produk pengembangan laboratorium. Setelah itu diserahkan ke industri untuk dikembangkan, seperti uji klinis terbatas, uji klinis luas, dan sebagainya. Sebenarnya, sebagai negara pandemi, Indonesia harus membuat vaksin sendiri dalan melindungi warganya agar tidak membebani keuangan negara.

Bagaimana perkembangan pembuatan vaksin oleh Lembaga Eijkman?

Skenario terbaik yang sudah kami buat bersama Biofarma yaitu kami sudah mengidentifikasi bagian-bagian dari virus mana yang dijadikan calon vaksin bersifat antigenisitas yang cukup baik. Diharapkan memiliki daya proteksi yang cukup tinggi. Kami akan berupaya mendapatkan bibit vaksin kurang dari satu tahun yang kemudian kami serahkan ke industri untuk uji klinis. Biaya yang dibutuhkan untuk fase awal sampai ditemukan bibit vaksin itu berkisar 5-10 miliar rupiah.

Apa yang perlu dilakukan untuk menghindari penyebaran virus korona?

Sebelum vaksin itu ada, kami tetap harus meningkatkan kekebalan tubuh. Karena kekebalan tubuh ada yang spesifik dan nonspesifik. Kalau yang nonspesifik itu yang dibangkitkan dengan menjaga kebugaran. Artinya, kebersihan tubuh harus diterapkan. Harus rajin cuci tangan. Kalau bisa, harus menghindari daerah zona merah.

N-3

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.