Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sengketa Pilpres

Ahli: Pembuktian Kecurangan TSM Sangat Rumit

Foto : ANTARA/APRILLIO AKBAR

BERI KETERANGAN - Ahli hukum dari UGM, Edward Omar Syarief Hiariej (tengah) memberikan keterangan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan pembuktian adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan pemilihan umum 2019 sangat rumit dilakukan. Pembuktian kecurangan TSM juga tidak dapat dilakukan dengan pembuktian abal-abal.

"Jadi, pembuktiannya antara motivasi (niat) dan akibat sama-sama terwujud. Itulah yang kita sebut dalam hukum pidana sebagai dolus premeditatus (kesengajaan dalam tindak pidana) untuk menggambarkan sistematis tersebut. Maka dari itu pembuktiannya bukan abal-abal, sangat rumit," kata Edward Hiariej, saat menjadi ahli untuk pihak terkait Jokowi-KH Ma'ruf Amin dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6).

Ahli Hiariej menjadi salah satu ahli dari dua ahli yang dihadirkan tim hukum Jokowi- KH Ma'ruf Amin. Ahli lainnya yang dihadirkan adalah Heru Widodo, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran. Sedangkan dua saksi fakta yang dihadirkan adalah Candra Irawan dan Anas Nashikin.

Edward Hiariej dalam paparannya menjelaskan bahwa kecurangan dapat dikatakan terstruktur, sistematis, dan masif apabila ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi. Dia mengatakan kecurangan yang terjadi harus disertai dengan niat atau maksud, bukan karena kealpaan atau kelalaian. Kemudian kecurangan itu dilakukan secara sistematis, yang dalam konteks pidana, merujuk Undang-Undang Pemilu Pasal 286, diartikan sebagai sebuah rencana yang matang dan rapi.

Kecurangan yang terstruktur dan sistematis ini pada akhirnya harus menimbulkan dampak masif. "Dalam penjelasan UU Pemilu di dalam Pasal 86 Ayat 3 dia kumulatif, dan bahasanya yang dimaksud pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian," ucap Edward.

Dijelaskan, kalau sangat luas itu berarti kalau kita pakai metode kuantitatif, berarti 50 persen + satu. "Kalau ada 800 ribu TPS, berarti ada 401 ribu TPS (yang terbukti adanya kecurangan TSM). Kira-kira begitu," paparnya.

Bukan Ranah MK

Sementara itu, ahli Heru Widodo menyoroti soal permintaan tim hukum 02 untuk mendiskualifikasi pasangan capres dan cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin.

Menurut Heru, belum pernah terjadi MK mendiskualifikasi capres dan cawapres karena ranah itu bukan ranah MK, melainkan kewenangan Bawaslu.

Heru pun lantas menyebut Pasal 286 dan Pasal 460 UU Pemilu yang memuat ketentuan diskualifikasi. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan peserta pemilihan memang dapat didiskualifikasi. Dan andai pun ada peserta atau pasangan calon yang ikut pemilu didiskualifikasi oleh Bawaslu, masih ada ruang untuk mengajukan keberatan atas putusan diskualifikasi ke Mahkamah Agung. ags/AR-2

Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top