Agar Inflasi Terkendali, Pemerintah Perlu Tunda Rencana Kenaikan Pajak Penjualan
Inflasi naik I Pekerja membersihkan kaca gedung disalah satu mall di Jakarta, Senin (2/12). Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi pada November lalu sebesar 0,3 persen secara bulanan atau naik dari bulan sebelumnya sebesar 0,08 persen.
Foto: Koran Jakarta/Wahyu APUntuk menjaga stabilisasi harga, pemerintah perlu menjaga ketersediaan pangan, memastikan distribusi pangan lancar, dan menunda kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025.
JAKARTA – Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga pangan serta menunda kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) di tengah potensi peningkatkan inflasi jelang akhir tahun ini. Sebab, inflasi dapat menggerus konsumsi masyarakat yang selama ini berkontribusi besar dalam menggerakkan perekonomian dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, meminta menilai kinerja inflasi itu berpotensi membuat pendapatan riil turun akibat melemahnya kemampuan konsumsi. Risikonya, pertumbuhan ekonomi berpotensi melambat.
Adapun langkah yang bisa diambil pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga, menurut dia, mencakup tiga hal. “Pertama, menjaga ketersediaan pangan. Kedua, memastikan distribusi pangan lancar. Ketiga, menunda penyesuaian tarif PPN yang direncanakan naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025,” jelasnya di Jakarta, Senin (2/12).
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada November 2024 mencapai sebesar 0,30 persen secarra bulanan (mtm) atau lebih tinggi dibandingkan Oktober 2024, yang sebesar 0,08 persen. Secara tahunan, inflasi tercatat sebesar 1,55 persen (yoy) pada November 2024 atau di bawah capaian pada Oktober lalu sebesar 1,71 persen (yoy).
“Inflasi bulanan pada November 2024 lebih tinggi dibandingkan Oktober 2024, tetapi masih lebih rendah jika kita bandingkan dengan November 2023,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, awal pekan ini.
Senada dengan Esther, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai perlu ada evaluasi kebijakan untuk menjaga tingkat inflasi, termasuk soal PPN 12 persen. Selain itu, juga dibutuhkan suntikan stimulus yang bisa memulihkan daya beli masyarakat.
Dia berpendapat inflasi tahunan sebesar 1,55 persen terbilang kecil. Bila kondisi inflasi yang rendah ini terus berlanjut, dikhawatirkan ekonomi akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Bahkan, target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada kuartal IV-2024 terbilang cukup menantang untuk dicapai.
“Sekarang tantangan yang terbesar adalah jangan sampai inflasi yang rendah berbalik meningkat bukan disebabkan kenaikan daya beli masyarakat, tetapi disebabkan kebijakan fiskal yang mendorong harga-harga barang dan jasa yang meningkat signifikan tahun depan. Ini yang harus dijaga pemerintah,” tuturnya.
Prospek ke Depan
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Pertama, Josua Pardede, memproyeksikan tingkat inflasi tetap berada di bawah dua persen hingga akhir 2024. Dia memproyeksikan tingkat inflasi pada 2024 berkisar antara 1,7–2,0 persen, dibandingkan dengan 2,81 persen pada 2023, yang mencerminkan lingkungan inflasi yang lebih terkendali.
Prakiraan ini didasarkan pada adanya beberapa faktor. Faktor tekanan harga energi global, yang didorong oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kawasan Euro menjadi salah satunya, dengan adanya kemungkinan bakal diimbangi oleh potensi penurunan permintaan global. Selain itu, risiko kenaikan dapat muncul menjelang akhir tahun, terutama dari peningkatan permintaan musiman yang terkait dengan liburan Natal dan Tahun Baru.
Pada 2025, Josua memperkirakan inflasi akan meningkat seiring dengan beberapa langkah kebijakan pemerintah. Nota Keuangan 2025 menyoroti rencana untuk memberlakukan cukai pada minuman kemasan berpemanis dan meningkatkan tarif PPN.