Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Stunting

Ada Keterkaitan antara Orang Tua Perokok dengan Anak

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI ) belum lama ini meluncurkan hasil penelitian yang mengungkap, ada keterkaitan erat antar kebiasaan merokok orang tua terhadap anak stunting atau kurang gizi kronis yang mengancam tumbuh kembang anak.

Merokok memang menjadi problematika kesehatan yang tak ada habisnya di bahas, tak hanya mencelakakan kesehatan perokok maupun orang di sekitarnya (perokok pasif). Berdasarkan kajian baru PKJS-UI, dampak buruk rokok juga mengancam anak dari persoalan stunting, risiko pun kian meningkat apabila 'penghisap' rokok itu orang tua sendiri.

Teguh Dartanto, PhD, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UI menjelaskan risiko anak stunting meningkat apabila orang tuanya merokok. "Anak-anak yang orang tuanya merokok memiliki pertumbuhan berat badan 1,5 kilogram lebih rendah. Tinggi badannya juga, pertumbuhan tinggi badan anak lebih rendah 0,34 sentimeter," ujar Teguh selaku penanggung jawab penelitian.

Hal ini biasa terjadi melalui dua cara. Pertama, karena asap rokok yang dihembuskan orang tua yang diduga dapat mengganggu penyerapan gizi pada anak, pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya. Dan kedua, lebih terlihat dari sisi biaya belanja rokok yang cenderung besar, sehingga mengancam jatah biaya belanja makanan bergizi, biaya kesehatan, pendidikan yang notabene diperlukan anak.

Untuk memperoleh temuan itu, tim peneliti PKJS-UI menggunakan penelitian longitudinal pada 1997-2014 dari Indonesian Family Life Survei (IFLS). Berdasarkan data itu, tim peneliti menemukan adanya peningkatan konsumsi rokok sebesar 3,6 persen pada 1997 menjadi 5,6 persen pada 2014.

Sebaliknya untuk pengeluaran membeli bahan konsumsi bergizi seperti daging dan ikan misalnya, menurun sekitar 2,3 persen selama 1997-2014. Padahal, jenis pengeluaran ini akan sangat mempengaruhi perkembangan masa depan anak-anak dalam hal berat badan, tinggi badan, dan kemampuan kognitif. Dan mirisnya berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi rokok masih tinggi di Indonesia, khususnya pada lingkup keluarga miskin.

Ancam Kualitas Anak

Berdasarkan kajian IFLS diketahui mulai dari faktor genetik, lingkungan, dan ekonomi, ditemukan bahwa anak yang memiliki orang tua perokok berisiko mengalami stunting 5,5 persen lebih tinggi. Temuan lain yang tak kalah penting adalah stunting pada anak juga berpengaruh terhadap kecerdasannya.

"Ketika sudah adiktif dengan rokok maka orang akan menjadikannya sebagai prioritas. Dia bisa mengorbankan pengeluaran makanan bergizi untuk membeli rokok. Anak-anak akan mengalami malnutrisi dan kemungkinan kecerdasannya berkurang," ujarnya.

Karena itu, menurut Teguh, pengendalian rokok masih harus ditingkatkan. Sebab, dampak rokok tidak hanya berpengaruh terhadap perokoknya saja, namun juga keturunan dan orang-orang lain di sekitarnya. "Indonesia saat ini ada di middle-income country. Target untuk jadi high-income country akan sulit dicapai jika sumber daya generasi berikutnya lebih pendek dan kurang cerdas dibandingkan negara lain," sambung Teguh.

Kemudian dalam kesempatan yang sama dr Bernie Endyarni Medise, Sp A(K), MPH, Anggota Pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan, secara teknis kaitan orang tua perokok dengan anak stunting bisa terjadi bahkan sejak dari masa kandungan. Menurut dia, paparan rokok selama hamil bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang pada akhirnya memicu penurunan oksigen ke seluruh tubuh.

"Tali pusat akan mengalami gangguan sehingga distribusi nutrisi terhambat. Oleh sebab itu banyak literatur yang mengatakan ibu hamil merokok bisa membuat anak lahir dengan berat badan rendah, kelahiran prematur, atau lahir cacat bahkan kematian," kata Bernie.

Lalu alasan mengapa paparan rokok dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak menurutnya, lebih karena ada gangguan pada penyerapan nutrisi pada bayi dan balita. Hal ini memicu gangguan antar neuron atau sel saraf yang pada gilirannya mempengaruhi fungsi kognitif anak. "Banyak penelitian mengatakan ada hubungan antara merokok dengan gangguan penyerapan vitamin C. Vitamin C ini antioksidan yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Merokok juga berhubungan dengan penyerapan beta karoten, selenium, zinc, vit B kompleks yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak," lanjutnya.

Temuan PKJS-UI di era baru ini menjadi penting, diperlukan upaya yang lebih konkrit untuk mengendalikan konsumsi rokok di level nasional. Dan ditekankan oleh para peneliti UI, menurunkan konsumsi rokok tidak hanya akan mengurangi prevalensi perokok tetapi juga akan membuat masa depan Indonesia lebih baik dengan menekan stunting, sehingga generasi penerus Indonesia ke depan akan memiliki kondisi kesehatan maksimal, baik dari segi fisik maupun kognitifnya. ima/R-1

Langkah Paling Efektif

Beragam langkah sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia, mulai dari iklan bahaya merokok yang menampilkan dengan gamblang risiko penyakit hingga korban dari rokok. Dan tak ketinggalan sampul bungkus rokok pun hingga kini masih terus mengambarkan bagaimana ngerinya penyakit yang diakibatkan rokok.

Kendati demikian Teguh mengatakan, ancaman nyata itu tidak membuat perokok aktif menghentikan kebiasaannya. "Sebenarnya, iklan rokok itu dampaknya tidak begitu efektif. Orang hanya takut, tapi enggak membuat berhenti. Hanya ada perasaan tidak nyaman saja," ungkap.

Kemudian bisa dibayangkan jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih terlalu murah, jauh dibandingkan Jepang yang memiliki harga rokok di atas Rp 100.000 per bungkus. Jepang, menurut Teguh, sangat fokus menekan jumlah perokok melalui berbagai cara. "Sebenarnya pengendalian rokok itu tidak harus mahal. Di Jepang sendiri, selain harga rokok mahal juga kawasan tanpa rokok di sana benar-benar kuat. Karena kalau Anda merokok di luar kawasan itu dendanya lebih mahal, bisa jadi kena Rp 400.000," tuturnya.

Dan yang menariknya lagi, akses untuk memberli rokok juga tergolong rumit, harus di cek KTP-nya untuk sekadar memastikan penghisap rokok itu sudah berumur cukup, yaitu 18 tahun ke atas.

Perlu diketahui, berdasarkan riset Atlas Tobbaco Indonesia menduduki ranking satu dengan jumlah perokok tertinggi di dunia, disusul Russia ranking kedua, kemudian Tiongkok, Filipina, dan Vietnam. Yang membuat makin miris, menurut data WHO 2015, lebih dari sepertiga anak laki-laki pada usia 13-15 tahun di Indonesia, mengonsumsi tembakau. Sementara itu, 3,9 juta anak antara usia 10 dan 14 tahun menjadi perokok setiap tahun. Dan diperkirakan ada sekitar 239 ribu anak di bawah usia 10 tahun sudah mulai merokok. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top