Jum'at, 22 Nov 2024, 14:35 WIB

4 Cara Mencapai Swasembada Air di Era Prabowo: Tak Harus dengan Bendungan

Prabowo menekankan pentingnya kecukupan air yang dijamin melalui manajemen air yang efektif.

Foto: The Conversation/Kemenhan

Rian Mantasa Salve Prastica, The University of Queensland 


Presiden Prabowo Subianto berulang kali menekankan ambisinya untuk mencapai swasembada air di Indonesia. Artinya, Presiden menginginkan bahwa tidak ada lagi rumah tangga di tanah air yang kesulitan mengakses air bersih.

Dalam naskah visi-misinya, Prabowo menekankan pentingnya kecukupan air yang dijamin melalui manajemen air yang efektif. Harapannya, pasokan air tetap tersedia saat musim kemarau dan tidak menimbulkan bencana di musim hujan.

Persoalan air menjadi krusial karena perubahan iklim berisiko meningkatkan kerentanan air di Indonesia. Sebagai contoh, anomali cuaca El Nino diperkirakan meningkatkan risiko kekeringan di banyak wilayah Indonesia, khususnya di bagian timur. Padahal, desa-desa dengan kerawanan air yang tinggi berkaitan erat dengan tingginya tingkat kemiskinan dan kerawanan gizi di daerah setempat.

Prabowo patut mencatat bahwa tidak semua krisis air bersih dapat diatasi dengan pembangunan infrastruktur seperti bendungan. Bendungan memang dapat membantu penyimpanan air. Namun, di banyak daerah, alternatif lain seperti pemanenan air hujan, teknologi pemanen kabut, atau sistem penampungan air berskala rumah tangga bisa lebih efektif dan efisien.

Selain itu, bendungan membutuhkan biaya besar dan waktu pembangunan yang lama, serta berisiko menimbulkan dampak ekologis jika tidak dikelola dengan baik.

Di beberapa wilayah yang topografinya sulit ataupun penduduknya tersebar, solusi berbasis komunitas seperti sumur bor atau instalasi desalinasi (pengolahan air laut menjadi air tawar) di daerah pesisir dapat menjadi pilihan lebih tepat. Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya lebih terjangkau tetapi juga lebih mudah diakses oleh masyarakat lokal.

Dalam artikel ini, saya mencoba merangkum beberapa pendekatan yang bisa digunakan Prabowo untuk mencapai swasembada air sesuai kondisi di tiap daerah.

1. Memanen air hujan

Rekomendasi utama saya untuk menjaga ketahanan air adalah dengan memberdayakan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah swadaya sebelum pemerintah turun tangan memperbaiki infrastruktur.

Salah satu langkah efektif adalah sistem rainwater harvesting atau memanen air hujan selama musim penghujan untuk membantu masyarakat yang mengalami krisis air.

Selain masalah kekeringan, penelitian awal saya menemukan bahwa pemanenan air hujan dapat mereduksi volume banjir sampai 86,36%.

Artinya, teknologi ini dapat dimanfaatkan di kedua musim sekaligus. Sayangnya, belum semua wilayah memiliki wawasan terkait teknologi ini.

Pemerintah daerah dapat berperan aktif dengan mengawal program ini, termasuk membantu penyediaan tangki penampung air hujan di setiap rumah. Harapannya, masyarakat memiliki cadangan air untuk musim kemarau.

Di Balikpapan, Kalimantan timur, seorang warga memulai inisiatif membeli tandon air untuk menampung air hujan sebagai cadangan musim kemarau. Sistem ini telah banyak dimanfaatkan juga untuk perikanan.

Solusi ini dapat diterapkan di mana saja dengan beragam topografi daerah di Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan. Agar pendekatan ini bisa lebih terstruktur, pemerintah perlu menganalisis kebutuhan dan ketersediaan air untuk menentukan volume tangki pemanen air hujan dan kebutuhan di setiap rumahnya.

Edukasi mengenai pentingnya konservasi air dan teknik pengelolaan air skala rumah tangga dapat membantu masyarakat memanfaatkan air dengan lebih efisien.

2. Modernisasi irigasi

Salah satu tujuan pembangunan bendungan adalah untuk meningkatkan produktivitas saluran irigasi. Sayangnya, di sejumlah daerah, distribusi air bendungan justru tidak adil dan tidak optimal. Alhasil, bendungan justru memicu konflik di masyarakat.

Modernisasi irigasi bisa menjadi langkah krusial untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Salah satunya dengan menggunakan teknologi irigasi tetes (drip irrigation) yang menghemat air dan memastikan tanaman menerima jumlah air dengan tepat, sekalipun di musim kemarau.

Penggunaan sensor kelembaban tanah untuk mengatur volume air juga dapat membantu meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Berdasarkan riset tahun 2016 di Lombok Timur, efisiensinya mencapai 99,24-100%. Hal ini didukung pula oleh hasil temuan pemerintah Queensland di Australia.

Kendati begitu, drip irrigation memiliki beberapa kekurangan.

Pertama, biaya instalasi awal yang tinggi sering menjadi kendala, terutama bagi petani kecil dengan modal terbatas. Pasalnya, sejumlah peralatan seperti pipa, selang, dan pompa cukup mahal, sekitar Rp20-26 juta per hektare.

Pemerintah pusat maupun daerah dapat mengatasi tantangan ini dengan program subsidi ataupun pembiayaan yang ramah petani kecil.

Kedua, irigasi tetes rentan mengalami penyumbatan pada emitor (lubang tetes) akibat partikel padat atau endapan mineral, terutama jika kualitas air tidak terjaga dengan baik.

Akibatnya, sistem ini memerlukan pemeliharaan rutin, termasuk pemasangan saringan, untuk memastikan semua emitor dan selang bekerja optimal. Sebab, kebocoran atau penyumbatan dapat menyebabkan distribusi air yang tidak merata dan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Di beberapa daerah, irigasi tetes juga bergantung pada sumber listrik untuk mengoperasikan pompa. Ini menyulitkan penerapannya di wilayah dengan akses listrik terbatas.

Penggunaan energi terbarukan seperti pompa bertenaga surya atau kincir angin dapat menjadi solusi yang efektif untuk persoalan ini.

3. Sistem pemanenan kabut (fog harvesting)

Daerah pegunungan atau dataran tinggi seperti di Desa Alasbuluh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dapat memanfaatkan teknologi pemanenan kabut (fog harvesting) sebagai solusi pasokan air. Teknologi ini memungkinkan pengumpulan embun atau kabut untuk kemudian diubah menjadi air.

Pemerintah dapat menyediakan dana bantuan atau subsidi untuk bahan dan teknologi. Selain itu, skema kredit atau insentif khusus juga dapat membantu masyarakat mengadopsi teknologi ini.

Kebijakan dan regulasi yang mendukung juga penting agar pengumpulan air dari kabut bisa lebih terstruktur dan terencana. Misalnya, pemerintah dapat mengintegrasikan fog harvesting ke dalam program penyediaan air bersih dan irigasi untuk daerah dataran tinggi.

Di sisi lain, masyarakat lokal bisa terlibat secara langsung dalam proses pemasangan dan pemeliharaan peralatan fog harvesting. Dengan pelatihan yang disediakan pemerintah atau lembaga terkait, masyarakat bisa mengelola fasilitas ini secara mandiri dan memastikan alat-alat tersebut berfungsi optimal.

Pihak lain, seperti universitas, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta, juga dapat berkontribusi melalui dukungan teknis, pelatihan, serta inovasi dalam memanen kabut agar lebih efisien dan mudah diakses.

4. Pemeliharaan bendungan dan pipa distribusi air

Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Presiden Jokowi telah membangun banyak infrastruktur di Indonesia, khususnya bendungan dan waduk untuk mendukung ketahanan air dan pangan. Namun, beberapa program ini belum dilengkapi perencanaan dan pengoperasian infrastruktur pipa sehingga akses airnya belum inklusif bagi masyarakat sekitar.

Oleh karena itu, selain soal pembangunan, pemerintahan Prabowo semestinya juga berfokus pada peningkatan operasi dan pemeliharaan infrastruktur. Pemeliharaan dan pembangunan pipa juga berpotensi menghemat anggaran pemerintah karena tidak perlu membangun banyak infrastruktur baru.

Sebaliknya, pemerintah pusat bersama daerah dapat mengucurkan anggaran penyempurnaan infrastruktur bendungan, perbaikan dan penggantian pipa, termasuk biaya operasi dan pemeliharaannya. Saat ini ketiga aspek tersebut masih menghadapi banyak tantangan sehingga masih banyak kerusakan dan kebocoran jaringan, serta berbagai masalah lainnya.

Pemerintah daerah bisa melibatkan masyarakat setempat untuk memantau kondisi infrastruktur distribusi air. Otoritas dapat mengucurkan bantuan finansial untuk usaha kecil, pengurangan tagihan air/listrik, akses prioritas program sosial seperti pelatihan keterampilan penunjang usaha. Opsi lainnya adalah insentif berupa penghargaan komunitas bagi partisipasi mereka.

Dengan sistem pelaporan masalah yang cepat dan jelas, kerusakan dapat segera ditangani sebelum masalah menjadi lebih besar.

Pemerintah juga dapat mencapai ketahanan air yang berkelanjutan di berbagai daerah, baik desa maupun kota, dengan cara yang lebih holistik, tak hanya mengandalkan satu opsi.

Pendekatan ini memungkinkan setiap wilayah memanfaatkan sumber daya air lokal secara efektif tanpa harus bergantung sepenuhnya pada bendungan. Dengan mengintegrasikan teknologi dan praktik yang sesuai dengan kondisi geografis dan kebutuhan spesifik setiap komunitas, ketahanan air dapat terjaga.

Strategi yang beragam tidak hanya meningkatkan akses air bersih dan irigasi, tetapi juga memperkuat ketahanan masyarakat terhadap risiko perubahan iklim dan cuaca ekstrem di masa depan.The Conversation

Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: