Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Tantangan Pemulihan | Inflasi Tinggi Dapat Pengaruhi Pendapatan Emiten

Waspadai Risiko Inflasi Tinggi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah memperingatkan tiga risiko yang sedang mengancam ekonomi global, termasuk Indonesia, yaitu inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan potensi pelemahan ekonomi. Selain berpotensi memperlemah daya beli masyarakat, di sektor bisnis, inflasi tinggi dapat menggerus pendapatan perusahaan.

"Tiga hal ini akan mempengaruhi environment ekonomi seluruh dunia termasuk Indonesia, yaitu inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan potensi ekonomi rendah," kata Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Senin (23/5).

Menkeu Sri Mulyani menjelaskan konflik antara Ukraina dan Russia telah menyebabkan lonjakan harga barang-barang yang sangat penting bagi pemulihan dan masyarakat yaitu energi dan pangan. Beberapa komoditas itu meliputi gas alam yang naik 125,8 persen (ytd), batu bara 166,1 persen (ytd), minyak mentah jenis Brent 45,7 persen (ytd), CPO 20,9 persen (ytd), gandum 55,6 persen (ytd), jagung 31,6 persen (ytd), kedelai 28,1 persen (ytd) dan grain naik 15,5 persen (ytd).

Menkeu menuturkan kenaikan harga komoditas tersebut pada akhirnya menyebabkan inflasi tinggi di berbagai negara terutama negara yang tidak melakukan shock absorber. "Ini langsung dirasakan rakyatnya sehingga masyarakat di negara tersebut menghadapi inflasi tinggi," ujarnya.

Sebagai contoh, Russia mengalami inflasi 17,8 persen, Brasil 12,1 persen, Amerika Serikat (AS) 8,3 persen, Inggris 9 persen, Meksiko 7,7 persen, Afrika Selatan 5,9 persen, Korea Selatan 4,8 persen, dan India 7,8 persen. Inflasi yang tinggi menyebabkan negara-negara ini melakukan pengetatan kebijakan moneter seperti Russia sebanyak 975 basis poin (bps) sejak 2021 dengan tingkat suku bunga acuan 17 persen dan Brasil 1.075 bps sejak 2021 dengan suku bunga acuan 12,75 persen.

"Di banyak negara, interest rate segera meningkat terutama emerging kenaikannya cukup cepat untuk menjaga inflasinya," jelas Sri Mulyani.

Untuk Indonesia, dia mengatakan saat ini masih cukup terkendali karena tidak semua kenaikan harga komoditas dunia dirasakan oleh masyarakat. Inflasi Indonesia pada April 2022 adalah sebesar 3,5 persen (yoy) yang sudah relatif meningkat dibandingkan 24 bulan ke belakang.

Gerus Konsumsi

Sementara itu, Equity analyst PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Stifanus Sulistyo, menilai dampak inflasi yang saat ini cenderung meningkat dapat mempengaruhi pendapatan emiten pada paruh kedua 2022. Stifanus mengatakan laporan keuangan emiten pada kuartal pertama rata-rata cenderung kuat dengan hasilnya sesuai ekspektasi yang cenderung lebih baik. Sedangkan pada kuartal kedua, pemulihan aktivitas ekonomi dan dampak musiman perayaan Lebaran akan membantu pendapatan perusahaan.

"Untuk paruh kedua 2022, kita masih perlu terus melihat seberapa besar dampak dari inflasi terhadap daya beli dan profitabilitas perusahaan," ujar Stifanus lewat keterangan di Jakarta.

Di tengah peningkatan inflasi dan tantangan lain yang mempengaruhi kelancaran distribusi rantai pasokan dan berdampak besar terhadap harga komoditas dunia, dia memperkirakan kinerja sektor konsumer cenderung kurang bergairah karena tekanan biaya produksi dan daya beli.

"Dari sisi daya beli, inflasi akan menekan daya beli, namun akan sedikit diredam oleh peningkatan aktivitas ekonomi yang akan meningkatkan perputaran bisnis," kata Stifanus.

Perusahaan consumer, lanjutnya, juga menghadapi peningkatan biaya produksi yang akan membutuhkan kenaikan harga jual, jika produsen ingin menjaga profitabilitas.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top