Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis

Waspadai Efek Putaran Kedua Perang Dagang

Foto : ANTARA/Puspa Perwitasari
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyoroti dampak putaran kedua (second-round effect) dari perang dagang yang dapat memberikan efek negatif bagi Indonesia. Hal itu disampaikan Darmin dalam sebuah seminar yang diadakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Rabu (28/11).

Darmin menjelaskan bahwa perang dagang akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dari dua negara yang terlibat, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

"Dua negara itu rekan dagang utama Indonesia, apa yang terjadi pasti berpengaruh. Kalau karena perang dagang terpaksa mengurangi produksi yang bahan bakunya dari Indonesia, ya kena di sini. Itu second-round effect." ujar mantan gubernur Bank Indonesia tersebut.

Darmin mengatakan second-round effect tidak mudah ditemukan solusinya karena harus mencari pasar ekspor lain untuk tetap menjual bahan baku.

Selain itu, Darmin juga menjelaskan menganai dampak tidak langsung dari perang dagang yang bisa memberi efek positif bagi perekonomian Indonesia. Dampak tidak langsung muncul terutama dari relokasi industri-industri yang ada di Tiongkok.

"Dampak tidak langsung berat karena harus bersaing dengan negara lain, namun itu semua belum terjadi karena semua masih berharap (perang dagang berakhir) damai," ujar dia.

Dampak tidak langsung perang dagang bagi Indonesia dari adanya kemungkinan relokasi juga akan dipengaruhi hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2018 di Buenos Aires, Argentina.

Darmin menilai seandainya pertemuan tersebut gagal menghasilkan moderasi antara AS dan Tiongkok, maka relokasi industri oleh para investor di Tiongkok kemungkinan besar akan terjadi.

Defisit Melebar

Di tempat yang sama, Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, memproyeksikan rata-rata nilai tukar rupiah pada 2019 sebesar 15.250 rupiah per dollar AS. "Memang cukup tinggi. Faktor yang paling besar adalah melebarnya defisit neraca transaksi berjalan," katanya.

Ia menyebutkan bahwa penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi pada November 2018 hanya temporer mengingat defisit neraca transaksi berjalan belum pulih.

Selain itu, ketidakpastian juga masih tinggi di level global sehingga Indef menilai nilai tukar 15.250 rupiah per dollar AS masih cukup realistis.

"Dalam perjalanannya mungkin ada fase rupiah akan apresiasi, bayangan kami rupiah pada 2019 tetap di atas 15 ribu rupiah. Kecuali current account deficit bisa ditekan di bawah 2,5 persen," ujar Eko.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti senior Indef Faisal Basri mengatakan fluktuasi nilai tukar diperkirakan akan lebih rendah jika dibandingkan 2018.

"Volatilitas berkurang jadi tidak gonjang-ganjing. Rupiah akan lebih stabil, tetap menembus 15 ribu rupiah namun volatilitasnya berkurang," kata dia. Ant/ahm/AR-2

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top