Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Sektor Keuangan I Normalisasi Memicu Perburuan Aset dalam Dollar AS

Waspadai Aliran Dana Keluar dari "Emerging Markets"

Foto : ISTIMEWA

YUSUF RENDI MANILET Peneliti Ekonomi Core - Naiknya eskalasi antara Tiongkok dan Taiwan memperburuk situasi kondisi geopolitik yang belum selesai antara Russia dan Ukraina.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kurangi pemborosan devisa terutama oleh lembaga- lembaga negara.

» BI harus memilih stabilitas harga atau nilai tukar untuk dikendalikan agar tidak menimbulkan ketidakstabilan di sektor keuangan.

JAKARTA - Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) menimbulkan guncangan pada sektor keuangan di negara-negara berkembang atau emerging markets.

Menurut Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dana asing keluar (capital outflow) dari emerging markets sebesar 50 miliar dollar AS atau sekitar 738 triliun rupiah per Agustus 2022. Dari pasar keuangan Indonesia sendiri, tercatat dana keluar mencapai 127,91 triliun rupiah atau 8,6 miliar dollar AS secara year to date.

"Fluktuasi capital outflow perlu diwaspadai dan diantisipasi dampak pengaruh normalisasi kebijakan moneter global pada berkurangnya likuiditas yang memengaruhi cost of fund," kata Menkeu, baru-baru ini.

Menanggapi imbauan tersebut, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan normalisasi kebijakan the Fed telah memicu perburuan aset dollar AS sehingga memicu capital outflow. Kondisi tersebut diakuinya berada di luar kendali otoritas, baik pemerintah maupun Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.

Hal yang bisa dilakukan, kata Gunadi, adalah memastikan lembaga-lembaga keuangan nasional tidak reaktif terhadap situasi capital outflow tersebut. "Mereka harus turut menjaga pasar uang dalam negeri," kata Gunadi.

Selain itu, pemborosan devisa untuk impor (termasuk oleh lembaga-lembaga pemerintah) yang tidak krusial perlu diminimalkan.

Antisipasi dalam jangka panjang juga diperlukan karena fluktuasi pasar keuangan global mungkin masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang, karena sedang dalam proses mencari keseimbangan atau posisi yang baru pascapandemi dan di tengah konflik Russia-Ukraina yang belum menunjukkan kapan akan berakhir.

Kenaikan suku bunga, jelasnya, bisa jadi pilihan, namun jangan terlalu agresif karena ada risiko kenaikan biaya dana atau cost of fund.

Sementara itu, peneliti ekonomi Center of Reform on Economic (Core), Yusuf Rendi Manilet, mengatakan capital outflow yang terjadi di pasar keuangan tidak terlepas dari kondisi saat ini yang memang kembali diliputi oleh ketidakpastian.

Setelah konflik geopolitik antara Russia dan Ukraina yang memicu beragam dampak termasuk di dalamnya kenaikan inflasi dan harga komoditas, saat ini naiknya eskalasi antara Tiongkok dan Taiwan memperburuk situasi kondisi geopolitik yang sebelumnya belum selesai antara Russia dan Ukraina.

Jika eskalasi konflik antara Tiongkok dan Taiwan meningkat, AS juga akan terlibat sehingga kondisinya akan seperti ketika perang dagang terjadi pada 2017 hingga 2018 silam.

"Hal ini tentu menjadi sentimen negatif di pasar keuangan terutama bagi investor sehingga menjadi wajar ketika terjadi capital outflow dari emerging market termasuk di Indonesia," kata Rendi.

Beruntung, APBN mencatat pencapaian positif terutama dari pos penerimaan pajak dan nonpajak. Dengan demikian, kebutuhan pembiayaan di sisa akhir tahun tidak akan melebihi dari target yang ditetapkan pemerintah.

Disparitas Suku Bunga

Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan saatnya mulai mewaspadai terjadinya capital outflow karena disparitas suku bunga asing dan suku bunga domestik mulai membesar ditambah adanya kecenderungan melemahnya rupiah akan semakin mendorong peningkatan imbal hasil surat berharga luar negeri.

"Jika tren capital outflow meningkat akan mendorong depresiasi rupiah," katanya.

Sebaiknya, terang Suhartoko, Bank Indonesia (BI) mulai mengantisipasi kapan suku bunga acuan dinaikkan. Memang ada beberapa sisi yang menjadi pertimbangan BI, yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar atau pertumbuhan ekonomi. Kondisi saat ini walaupun pertumbuhan ekonomi belum kembali seperti pada saat normal, namun sudah ada pertumbuhan di tengah situasi ketidakpastian.

"Nampaknya BI harus memilih stablitas harga dan nilai tukar untuk dikendalikan agar tidak menimbulkan ketidakstabilan di sektor keuangan," kata Suhartoko.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top