Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Batik for the World

Warisan Tak Benda yang Memukau Dunia

Foto : dok. Batik for the World; dok. magnum hazelnut lux
A   A   A   Pengaturan Font

Sejak batik dikukuhkan UNESCO dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity tentang warisan budaya tak benda di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009, sudah selayaknya batik menjadi salah satu identitas andalan Indonesia di kancah internasional.

Kiprah batik tidak harus berhenti begitu saja. Perlu adanya agenda yang berkelanjutan untuk memperkenalkan batik secara lebih mendalam dan luas. Agar batik tidak hanya dinilai sebagai bahan atau kain saja, tetapi warisan budaya yang harus diapresiasi lebih.

Hal inilah yang mendorong desainer Indonesia, Oscar Lawalata, berinisiatif untuk menggelar kegiatan guna menunjukan kembali kekayaan, perkembangan, dan sejarah batik Nusantara yang dihubungkan dengan pengrajin batik dan fesyen masa kini.

"Saya berpikir gimana batik yang sudah dikukuhkan UNESCO bisa berkembang sampai orang Indonesia bangga dengan batik, tapi masalahnya hanya orang Indonesia yang tahu itu. Maka, apa yang Indonesia punya, dunia juga harus tahu," katanya.

Bertajuk Batik for the World, akan berlangsung di kantor pusat UNESCO di Paris, Prancis mulai 6 hingga 12 Juni 2018. Pada pagelaran ini akan membawa sekitar 100 kain batik Nusantara yang dikurasikan bersama Yayasan Batik Indonesia, Rumah Pesona Kain, dan Oscar Lawalata Culture.

Tak hanya itu saja, kegiatan ini juga melibatkan kurang lebih 30 pengrajin batik untuk memperkenalkan batik ke dunia, mulai dari motif, kain, proses pembuatan, hingga edukasi mengenai nilai batik tersebut. "Jadi orang Eropa atau internasional bisa menghargai gimana prosesnya (pembuatan batik). Biasanya orang menghargai motifnya saja, padahal batik itu sebenarnya ya prosesnya itu," jelas Oscar.

Ia menambahkan kalau membawa batik Indonesia sama saja dengan berbicara mengenai Indonesia itu sendiri. Sehingga ia harus mencari cara bagaimana dapat menaikkan level pengrajin batik yang ada di Indonesia sehingga dapat dihargai dan semua orang dapat mengetahui nilai batik. Terlebih nilai batik tulis yang membutuhkan waktu pengerjaan lama.

Tiga Desainer Papan Atas

Pada acara Batik for the World yang berlangsung satu bulan lagi, ketiga desainer Indonesia yaitu Oscar Lawalata, Edward Hutabarat, dan Denny Wirawan akan memamerkan rancangan mereka menggunakan batik pada pembukaan pameran tersebut. Ketiganya membawa delapan rancangan dengan mengambil batik dari daerah yang berbeda. Oscar membawa batik dari lima daerah di Jawa Timur, diantaranya Madura, Surabaya, Ponorogo, Trenggalek dan Tuban dalam tampilan koleksi ready to wear. Ia merancang busana koktail untuk menyambut musim panas.

Untuk warna, dipilih warnawarna alam untuk mewakili nuansa musim panas yang dapat mendukung keindahan batik yang dibawanya.

"Itulah tantangannya. Gimana batik bisa direpresentasikan dengan gaya internasional tapi jangan sampai batiknya hilang," kata Oscar.

Edward memboyong batik dari daerah pesisiran Cirebon dan Pekalongan dengan balutan gaun pengantin. "Jadi ketika pengantin wanita bilang yes, I do langsung dapat melihat (nuansa) laut," ujarnya.

Sama dengan Oscar, Edward juga ingin memberikan nuansa musim panas yang menyenangkan pada koleksinya. Ia menambahkan bunga-bunga musim panas ala Prancis agar musim panas semakin terasa pada gaun pengantin rancangannya.

Sementara Denny mengusung keindahan dan keunikan Batik Kudus. Ia bercerita, saat ini jumlah pengrajin batik Kudus tidak sebanyak dahulu karena tidak ada generasi selanjutnya yang bersedia melakukan batik.

Edward yang melakukan penelitian di kota-kota di Indonesia mengenai batik mengatakan, batik bukanlah sesuatu yang diajarkan di sekolah-sekolah, tetapi sesuatu yang diberikan secara turun temurun dan menjadi tradisi.

"Dan generasi selanjutnya berpikir bahwa membatik adalah hal kuno, maka dari itu mereka mencari pekerjaan lain yang dianggapnya lebih keren yang sebenarnya tidak memiliki skill. Padahal membatik itu sebenarnya harus memiliki skill, makanya sayang sekali," tambah Oscar.

Untuk koleksinya ini, Denny sudah mempersiapkan koleksi Wedari sejak akhir tahun lalu karena keterbatasan waktunya, terlebih mengerjakan proses batik membutuhkan waktu lama. Nantinya ia akan membawakan busana malam dengan motif seri Wedari ningrat untuk baju glamour kekinian dengan look internasional. Motif merak khas Kudus akan membuat penampilan busana malam milik Denny semakin glamour.

Kolaborasi Hasilkan Artdeco

Sementara itu, pada kesempatan berbeda, dalam kampanye terbarunya Magnum Pleasure, Expertly Crafted sekaligus memperkenalkan varian terbarunya, Magnum Hazelnut Luxe. Magnum juga turut mempersembahkan Pleasure of Fashion untuk para penggemarnya melalui kolaborasi tiga desainer papan atas Indonesia dalam rangkaian fashion show.

"Kali ini Magnum merangkul tiga desainer kebanggaan Indonesia, yaitu Barli Asmara, Mel Ahyar dan Norma Hauri untuk menampilkan koleksi terbaru mereka yang seluruhnya expertly crafted untuk pagelaran Magnum Luxeperience ini," tutur Amalia Sarah Santi, Head of Marketing Refreshment PT Unilever Tbk.

Pada kolaborasi ini ketiga desainer membawakan koleksi yang terinspirasi dari kelezatan es krim Magnum dengan warna-warna elegan yang diambil dari tren warna 2018, seperti warna ungu dan emas.

Barli Asmara menampilkan koleksi bernuansa artdeco era 20 hingga 40-an. Sesuai temanya, ia lebih cenderung menggunakan warna emas dengan total koleksi 10 looks.

"Jadi artdeco motif yang ada di gedung, bangunan, semuanya bisa dimasukin melalui print, lace, atau dengan aplikasi permata yang ada di baju-baju tersebut," jelas Barli.

Sementara, Mel Ahyar yang dikenal dengan busana couturenya kali ini menghadirkan busana ready to wear deluxe melalui brand-nya Mel Ahyar First. Untuk pertama kalinya ia menggunakan bahan raw cotton dan printing pada tulle untuk menciptakan keglamouran di era 1920an.

Kontras dengan Barli, Mel lebih ingin menunjukan kesan glamour dan artdeco dengan gaya berbeda. "Glamour gak hanya bling-bling tetapi kerumitan di craftmanship seperti cutting, detail, juga bisa menunjukan kesan glamour," tambahnya.

Lain lagi dengan Norma Hauri yang merupakan desainer busana muslim. Ia menggunakan bentukbentuk pakaian pada 20an untuk menampilkan sentuhan artdeco khas. Temanya terinspirasi dari asrama wanita kelas atas di era 20 dan 30an.

Ia pun banyak memakai warna ungu pada koleksinya sebagai penambah kesan glamour. "Jadi kalau zaman dahulu itu orang gak bisa sembarang memakai warna ungu karena untuk mendapatkan warna ungu itu sulit," jelas Norma.

Untuk bahannya, ia menggunakan bahan-bahan yang mudah diatur dan mengembang seperti lavetta, jacquard, dan satin. Kolaborasinya dengan desainer busana muslim terbilang pertama kalinya dilakukan Magnum. Menurut Sarah karena sekarang busana muslim sudah menjadi tren dunia. "Kami melihat modest wear sudah menjadi tren dunia karena itu kami mau masukan ke salah satu desainer pilar Magnum," terangnya.

gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top