Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Wallacea, Titik Peleburan Genetik Nenek Moyang

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Di Kepulauan Wallacea pada masa prasejarah, telah menjadi tempat bagi peleburan genetik. Studi genom menemukan bukti terjadinya percampuran kelompok berbeda dari wilayah Asia dan Oseania.

Kepulauan Wallacea di Indonesia timur memiliki sejarah panjang pendudukan oleh manusia modern. Bagi penutur budaya Austronesia tempat itu meninggalkan jejak arkeologis dari gaya hidup neolitik dan jejak genetik yang masih dapat dideteksi hingga saat ini.
Nama ini untuk oleh pencetusnya seorang naturalis, Alfred Russel Wallace merujuk pada kawasan biogeografis yang mencakup sekelompok pulau-pulau dan kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah. Pulau-pulau di dalam kawasan Wallacea adalah Sulawesi, semua kepulauan di Maluku dan semua pulau di Nusa Tenggara. Pulau-pulau ini terpisah dari paparan benua-benua Asia dan Australia oleh selat-selat yang dalam.
Untuk mendapatkan wawasan lebih lanjut tentang sejarah pemukiman di Wallacea, tim ilmuwan dari The Australian National University (ANU), Max Planck Institutes di Jerman dan Universitas Airlangga, Indonesia melakukan studi arkeologis. Hasilnya kemudian dilaporkan pada jurnal Nature Ecology and Evolution dengan judul "Ancient genomes from the last three millennia support multiple human dispersals into Wallacea".
Dalam laporannya mereka mengurutkan dan menganalisis 16 genom purba yang diperoleh dari berbagai pulau di Wallacea. Salah satunya tim peneliti mendapatkan sampel genom dari dalam gua di situs Topogaro 2, salah satu gua situs kompleks Topogaro yang terletak di Sulawesi tengah. Situs itu telah digali sejak 2016. Pada lapisan atas para peneliti menemukan sisa-sisa manusia dari 2.000 tahun terakhir.
Dari hasil analisa genom-genom itu mereka menemukan bukti terjadinya percampuran genetik yang berulang. Dimulai setidaknya 3.000 tahun yang lalu, kontak genetik tersebut melibatkan beberapa kelompok berbeda dari wilayah tetangga di Asia dan Oseania.
Namun bagi manusia modern, pulau-pulau tropis ini merupakan koridor untuk bermigrasi ke daratan Australia-New Guinea Pleistosen (Sahul). Kepulauan yang jumlahnya mencapai ribuan itu telah menjadi rumah bagi kelompok manusia modern setidaknya selama 47 ribu tahun.
Catatan arkeologi membuktikan transisi budaya utama di Wallacea yang dimulai sekitar 3.500 tahun yang lalu. Hal ini oleh para peneliti dikaitkan dengan perluasan petani berbahasa Austronesia, yang bercampur dengan kelompok pemburu-pengumpul lokal.
Studi genetik sebelumnya dari penduduk modern di kawasan itu telah menghasilkan tanggal yang bertentangan dengan hasil studi terbaru untuk pencampuran ini. Peneliti menemukan waktunya mulai dari 1.100 hingga hampir 5.000 tahun yang lalu.
Tim menganalisis DNA dari 16 individu purba dari untuk menjelaskan rincian ekspansi ini dan interaksi manusia yang dihasilkan. Genom-genom ini sekaligus berguna dalam meningkatkan jumlah data genomik purba yang mewakili wilayah ini.
"Kami menemukan perbedaan mencolok antara wilayah di Wallacea dan yang mengejutkan, nenek moyang individu purba dari pulau-pulau selatan tidak dapat dijelaskan begitu saja dengan campuran antara kelompok yang terkait dengan Austronesia dan Papua," kata Sandra Oliveira, salah satu penulis utama studi tersebut pada laman Max Planck Gesellschaft.
Tim mengidentifikasi kontribusi leluhur tambahan dari Asia tenggara daratan, yang paling dekat dengan penutur Austroasiatik saat ini. Mereka mengusulkan bahwa pencampuran terjadi pertama kali antara leluhur terkait Asia tenggara daratan dan Papua dan bahwa aliran gen dari kelompok terkait Austronesia terjadi hanya kemudian.
"Komponen Asia tenggara daratan itu merupakan misteri besar bagi saya. Saya menduga bahwa kita mungkin melihat kelompok-kelompok kecil, mungkin petani awal, yang melakukan perjalanan jauh, tidak meninggalkan jejak arkeologi atau linguistik di sepanjang jalan, tetapi yang meningkatkan ukuran populasi mereka setelah kedatangan, " kata seorang penulis studi yang telah melakukan pekerjaan arkeologi di pulau Asia tenggara selama beberapa dekade, Peter Bellwood.
Sementara identitas orang-orang yang menyebarkan nenek moyang ini masih belum jelas. Namun penemuan nenek moyang Asia tenggara daratan dan kemungkinan purbakalanya di pulau-pulau Wallacea selatan memiliki implikasi besar bagi pemahaman tentang penyebaran kebudayaan masa prasejarah (neolitik) ke kepulauan Asia tenggara.
"Temuan ini sangat penting bagi para arkeolog di wilayah tersebut," tambah rekan penulis Toetik Koesbardiati, seorang antropolog di Universitas Airlangga, Surabaya. "Kami pasti akan mengintensifkan upaya kami untuk mempelajari migrasi ini dengan bukti lain," imbuh dia.

Bukti Linguistik
Karya ini juga mengungkapkan hubungan yang lebih dekat antara leluhur individu purba yang terkait dengan Austronesia dari Wallacea utara dan Pasifik, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Wallacea selatan, sebuah pola yang sesuai dengan bukti linguistik. Hubungan itu menjelaskan waktu pencampuran genetik Asia-Papua.
"Studi sebelumnya berdasarkan populasi masa kini telah melaporkan perkiraan yang sangat berbeda, beberapa di antaranya mendahului bukti arkeologis untuk ekspansi Austronesia, sementara yang lain jauh lebih baru," papar Mark Stoneking, penulis senior studi tersebut.
"Karena kita sekarang memiliki individu purba dari periode waktu yang berbeda, kita dapat secara langsung menunjukkan bahwa pencampuran terjadi dalam beberapa denyut atau terus menerus sejak setidaknya 3.000 tahun yang lalu di seluruh Wallacea. Studi di masa depan pada genom yang lebih tua mungkin memperpanjang tanggal ini lebih jauh," lanjut dia.
Tim juga mencari kesamaan genetik antara Wallacea purba yang baru dilaporkan dan individu pra-neolitikum yang diterbitkan sebelumnya dari Sulawesi, pulau lain di Wallacea. Namun semua individu di Wallacea yang diurutkan dalam penelitian ini lebih mirip dengan kelompok New Guinea saat ini daripada populasi lokal sebelumnya. hay/I-1

Pusat Tersebarnya Budaya Austronesia

Analisis DNA dari sisa-sisa manusia purba telah memberikan pencerahan baru tentang "ledakan" budaya dan genetika. Di wallacea keduanya saling bercampur aduk lalu menyebar ke tempat lain.
Penelitian di kawasan garis Wallacea, oleh tim ilmuwan dari The Australian National University (ANU), Max Planck Institutes di Jerman dan Universitas Airlangga, Indonesia, dengan menganalisa sampel DNA dari sisa-sisa manusia purba telah memberikan pencerahan baru tentang "ledakan" budaya dan genetika yang saling bercampur. Jejak itu jejak yang masih dapat dideteksi di Indonesia timur hingga saat ini.
Temuan mengungkapkan masyarakat migrasi kuno ini bercampur dengan penduduk asli lokal dari Wallacea dan Papua. Percampuran keduanya memunculkan jejak genetik yang diyakini telah meninggalkan jejak di banyak pulau di kawasan Asia-Pasifik.
Rekan penulis studi, Profesor Sue O'Connor, mengatakan orang-orang berbahasa Austronesia memperkenalkan hewan peliharaan, tanaman, dan tembikar ke pulau-pulau Wallacea bersama dengan praktik budaya dan sosial lainnya yang telah berubah dan berevolusi selama ribuan tahun.
"Penelitian ini menunjukkan untuk pertama kalinya betapa hebatnya peleburan genetik pulau-pulau di utara Australia," ungkap O'Connor kepada Canberra Weekly. "Ini juga memberi kita wawasan unik tentang jumlah mobilitas manusia yang terjadi di wilayah maritim yang luas ini yang tidak akan kita dapatkan dari arkeologi saja, migrasi orang Austronesia melintasi Pasifik adalah salah satu migrasi terbesar dalam sejarah manusia," papar dia.
Penelitian menyatakan banyak orang Austronesia yang menanam akar di kepulauan Wallacea juga melakukan perjalanan ke seluruh Pasifik. Lebih jauh bahkan kemungkinan mereka telah melakukan perjalanan hingga Amerika selatan, meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan mereka menetap di sana secara permanen.
"Makalah kami menunjukkan bahwa jalinan genetika dan budaya di wilayah Wallacea ini terjadi setidaknya satu milenium lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya, dan juga bahwa ini terus berlanjut selama periode neolitikum dan zaman logam dalam 3.000 tahun terakhir," kata Dr Stuart Hawkins, yang juga terlibat dalam penelitian ini.
"Kita juga mengetahui bahwa kedatangan orang-orang berbahasa Austronesia bertepatan dengan periode yang melihat transformasi besar dalam masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana masyarakat sedang berubah di Australia saat ini," ujar dia.
Dari sisi bahasa rumpun, bahasa Austronesia sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai New Zealand (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top